Jumat, 20 Juli 2012

PENGARUH SIKAP SUAMI ISTERI TERHADAP KEBAHAGIAN KELUARGA MENURUT EFESUS 5 : 22 - 23


BAB I

PENDAHULUAN

            Penelitian ini berhubungan dengan masalah : kebahagiaan dalam rumah tangga, kebahagiaan dalam rumah tangga menjadi barang yang sangat langka dalam zaman akhir ini, hal ini dikarenakan perkembangan zaman yang lebih mengutamakan keegoan daripada kebersamaan, jadi tidaklah mengherankan jika angka perceraian yang terjadi cukup tinggi saat ini. Kurangnya peran gereja juga menjadi salah satu pemicu tingginya angka perceraian, gereja hanya melakukan pekerjaan holistik gereja dan kurang ingin memberikan pemahaman tentang rumah tangga dalam kekristenan, khotbah tentang pernikahan hanya di dengar apabila ada pernikahan, paska pernikahan hal ini menjadi dilupakan, sesungguhnya perjalanan hidup berumah tangga sama pentingnya dengan hidup berjemaat. Seharusnya gereja mengambil peran untuk mereduksi efek samping dari kemajuan jaman yang ada. Berdasarkan pengamatan peneliti dalam beberapa tahun ini, perceraian seringkali disebabkan oleh kurangnya suami menghargai istri dan mencintai
mereka, kemudian istri merasa sebagai pemegang kendali dari perjalanan rumah tangga sehingga tidaklah mengherankan kita mendengar pada saat ini ada suami-suami takut istri. Budaya asal masing-masing pasangan satu dengan yang lain menjadi pemicu persoalan yang timbul. Rasul Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Efesus, tentang dasar dari hubungan suami isteri adalah Kasih Kristus, untuk itu Peneliti membuat judul penelitian ini adalah : “PENGARUH SIKAP SUAMI ISTRI MENURUT EFESUS 5: 22-33 TERHADAP KEBAHAGIAAN KELUARGA”.
            Dalam BAB I ini akan dibahas tentang : Latar Belakang Masalah; Pernyataan Masalah; Penjelasan Istilah; Hipotesis Penelitian; Tujuan Penelitian; Kepentingan penelitian; dan Pembatasan Penelitian.
Latar Belakang Masalah
            Soenoe Rahardjo, menerangkan bahwa Latar Belakang Masalah adalah suatu uraian yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti, dimulai dari yang umum dan luas, kemudian ke bagian sub-sub masalah yang menjurus ke arah yang lebih sempit, dan makin memfokus pada masalah yang sedang di teliti akhirnya sampai pada masalah penelitian.[2]
Berdasarkan keterangan di atas , latar belakang masalah penelitian ini adalah :  Allah berfirman dalam Kejadian 2: 18 “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.” Hal inilah membuat manusia ditempatkan Tuhan berpasang-pasangan. Setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda tentang perkawinan. Hal itu tergantung kepada apa alasan dan tujuan mereka untuk menikah.
            Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang artinya : “membentuk keluarga dengan lawan jenis”[3] dan Menurut Undang­-undang No 1 Tahun 1974, pasal 1 bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”[4]. Dan isi Undang-undang no.1. Tahun 1974, pasal 1 tersebut dapat diartikan, suami istri ialah seorang Laki-laki dan seorang Perempuan yang melangsungkan peresmian Perkawinannya berdasarkan pemberkatan oleh Tuhan melalui Pendeta.
            Pemberkatan nikah yang mereka terima dari gereja dalam satu upacara gerejawi dapat kita amini sebagai aplikasi dari pemberkatan nikah oleh Allah bagi pasangan suami istri pertama di Taman Eden yakni Adam dan Hawa (bdg Kej 1:28). Apa yang disampaikan oleh Kepala Gereja, Yesus Kristus dalam Matius 19:6 “Apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia”. Ini dapat diterapkan kepada pasangan laki-laki dan perempuan yang menerima pemberkatan nikahnya dari Allah melalui hambaNya yakni Pendeta.sejak saat itu mereka dinamakan sebagai suami istri.
            Suami istri adalah dua individu yang telah dipersatukan oleh Allah sehingga hidup suami dengan istrinya sehakekat ikatan lahir dan batin yang tidak boleh diputuskan kecuali karena kematian. Mulai sejak menerima pemberkatan nikah di dalam diri masing-masing harus tertanam, berakar dan tumbuh serta berbuah hakekat hidup mereka “telah dipersatukan oleh Allah” sepanjang jalannya usia pernikahan. Tentang hal itu firman Tuhan menegaskannya : “Mereka bukan lagi dua tetapi satu” (bdg Markus 10 :8). Suami memperlakukan istrinya seperti diri sendiri, istri memperlakukan suaminya bagaikan dirinya sendiri. Hidup dwitunggal (dua dalam kesatuan, satu dalam keduaan) dihayati dan dijalankan bersama setiap saat baik ketika bersama maupun berpisah oleh sesuatu tugas dan urusan sosial moralnya.
            Hubungan suami dengan istri dan sebaliknya haruslah berisi dan  menggambarkan terjadinya hubungan masing-masing dengan Yesus Tuhan dan Juruslamat mereka. Kebenaran Firman Tuhan haruslah melandasi, menerangi, menggarami perjalanan hidup suami istri setiap saat. Suami istri harus mempunyai prinsip untuk membawa kebahagian pernikahan, yakni: “FirmanMu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jiwaku” (Mazmur 119:105).
            Namun hakekat dan praktek hidup suami istri warga jemaat kristen pada masa kini sering dicemari oleh pengaruh adat istiadat, egoisme, keinginan dunia dan pola pikir yang kurang baik. Sikap memandang rendah pasangan atas dasar latar belakang ekonomi, pendidikan dan adat istiadat kerap kali ditemukan dalam kehidupan suami istri. Banyak hal-hal lagi yang menjadi sebab lahirnya masalah dalam hidup suami istri. Misalnya suami yang mengabaikan tata krama terhadap istri, sering berbicara kasar dan marah-marah pada istri tanpa menghiraukan perasaannya dan tanpa alasan yang tepat. Sibapak sebagai pencari nafkah cenderung ia berlaku semena-mena dalam keluarga. Sementara si ibu (istri) yang mempunyai lebih banyak penghasilannya dari suami kadang berlaku semena-mena dalam keluarga atau lebih menonjol gaya hidupnya dari yang lain. Dia lebih sering diluar rumah dari pada di dalam rumah sehingga dia sering marah-marah untuk mengalihkan perhatian suami ataupun anak-anak agar tidak berkomentar dengan tindakannya.
            Sikap suami terhadap istri yang sering kasar terkadang membuat si istri tidak tahan akhirnya minggat meninggalkan rumah dan anak-anaknya, terkadang istri menjadi kehilangan kesadaran karena tertekannya kehidupan akibat ulah suami. Ada juga sikap istri yang sangat dingin akibat terlalu sibuk dengan kepentingannya sehingga si istri sering tidak menyambut suami pulang kerja. Istri bersikap cuek, acuh tak acuh terhadap suaminya dan kurang memperhatikan kerapian dan kebersihan dirinya, akibatnya suami lebih suka mencari kesenangan diluar rumah hingga klimaksnya suami mencari kepuasan dari wanita lain yang lebih memperhatikan dan mengsihinya. Tidak sedikit dari pasangan yang mengalami masalah seperti itu mengambil keputusan untuk bercerai dan korbannya adalah anak-anaknya. Dan banyak melakukan hal-hal yang tidak benar dimata Tuhan, seperti perselingkuhan dan poligami. lni banyak dilakukan oleh pasangan-pasangan yang semata-mata menunjukkan bahwa mereka tidak merasa puas dengan pasangannya yang sah.
            Padahal semula penciptaan Allah sendiri menginginkan perkawinan itu tetap langgeng harmonis dan utuh sampai kematian memisahkan mereka. Dan Tuhan juga menginginkan suami ataupun istri kiranya takut akan Tuhan sehingga dalam rumah tangga akan ada kebahagian dan keharmonisan. Allah juga menginginkan supaya suami istri satu kepada yang lain menyatakan kasih sayang, saling menghibur, saling melengkapi, saling menolong dalam menghadapi suka maupun duka di dalam rumah tangga pada khususnya dan di dalam dunia pada umumnya. Seperti yang diungkapkan oleh Jhon Stoott dalam bukunya berjudul : Isu-isu global sebagai berikut :
Allah berfirman : tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, aku akan menjadian baginya seorang penolong yang sepadan dengan dia (Kejadian 2:18). Jadi Allah menghendaki perkawinan sebagai wahana untuk menyatakan kasih sayang dan perkawinan tiba dalam timbal balik untuk saling menghibur dan bahu membahu menghadapi baik suka maupun duka.[5]

            Dan buah pikiran teolog di atas dapat kita pahami apa - apa saja harus diperhatikan oleh suami istri dalam perjalanan hidup rumah tangga itu tiap waktu yakni : saling mengasihi, saling menghibur, bahu membahu baik dalam suka maupun duka. Tanpa kesediaan masing-masing menerapkan pola hidup kristiani yang sedemikian, akan tanggung jawab segala upaya mereka untuk membina kebahagian hidup sebagai suami istri. Di mana menurut E.G. Homrighausen, dkk mengatakan :
keluarga Kristen adalah pemberian Tuhan yang tak ternilai harganya, di mana apabila keluarga itu dikuasai oleh Yesus Kristus sendiri niscaya keluarga itu menjadi taat dan kuat dalam tangan Tuhan untuk memperkembangkan dan mematangkan pribadi-pribadi Kristen yang luhur.[6]

            Dengan adanya sifat yang dikuasai oleh Yesus Kristus maka akan tercipta keluarga yang bahagia. Di mana dapat kita lihat arti bahagia menurut Indrawan dalam kamus bahasa Indonesia “bahagia artinya hati senang, beruntung”[7]. Hidup bahagia ini menjadi tujuan setiap orang yang membangun keluaga baru dan ini merupakan cita-cita mereka dalam membina keluarga itu. Dalam hal ini kebahagiaan itu bukan hanya bersifat material tetapi harus seimbang dengan hal yang jasmani dan rohaninya. Keluarga bahagia merupakan pasangan yang merasa senang selama bersama pasangannya baik di dalam rumah maupun diluar rumah, dan setelah hadirnya keturunan mereka.
            Terkadang sebagai orang tua mereka lalai memperhatikan anak-anaknya, akhirnya anak-anak tidak lagi menghormati mereka dan dalam kenyataannya juga sikap orang tua yang sering terlalu keras dan kasar terhadap anak membuat anak­-anak tidak dapat mengerti apa kemauan orang tuanya. Dampaknya, anak-anak menjadi nakal dan bisa sampai menuju kejahatan, pelanggaran hukum. Tetapi dengan sikap yang salah maka keputusan orang tua yaitu suami dan istri tidak memikirkan lagi kebahagiaan anak-anaknya sehingga tujuan keluarga itu tidak ada lagi dan menjadi suatu kehancuran. Dan pada zaman modern ini banyak juga yang menikah hanya mengutamakan kebutuhan jasmani bukan kebutuhan rohani, karena itulah pasangan setelah menikah banyak yang bubar ditengah jalan dan tidak bersatu lagi karena tidak menjadikan Tuhan sebagai Kepala Keluarga itu.

Penjelasan Istilah
            Penjelasan Istilah, menurut A. B. Subayo adalah  terdiri dari penjelasan konsep yaitu batasan secara konsep dari variabel yang ada sedang yang lain, penjelasan secara operasional yaitu : batasan yang menunjuk cara – cara yang dipakai untuk mengukur atau memanipulasi variabel penelitian yang menjawab pertanyaan ” bagaimana kita akan tahu Variabel itu, jika kita melihatnya atau mendengarnya.[8]
Berdasarkan pedoman tersebut di atas, maka dalam penelitian ini : 

PENGARUH SIKAP SUAMI ISTRI MENURUT EFESUS 5: 22-33
Pertama    :“Pengaruh ” adalah daya yang ada dari suatu yang ikut membentuk 
                       kepercayaan, watak atau perbuatan seseorang.[9]
Kedua         :“Sikap”, Cara yang dipersiapkan untuk bertindak terhadap sesuatu.[10]
Ketiga      :“Suami Istri”, Laki-Laki dan Perempuan yang menjadi pasangan hidup yang terikat dalam janji perkawinan sebagai penggenapan perintah Allah dalam Kitab Suci.
Keempat  :Efesus 5 : 22 - 23” SuratRasul Paulus Kepada Jemaat di Efesus yang berthemakan tentang Kasih Kristus dasar dari hubungan Suami Isteri.[11]
Kelima     : Pengaruh Sikap Suami Istri Menurut Efesus 5: 22-33,  adalah suatu daya yang ikut membentuk watak yang dipersiapkan untuk bertindak bagi Laki-Laki dan perempuan untuk terikat dalam perkawinan di mana Kasih Kristus sebagai pengikat hubungan Suami Isteri.
Keenam    : Kebahagiaan , adalah kondisi perasaan yang tenang dan
  damai , bebas dari rasa tekanan dan ketakutan.
Ketujuh    : “Keluarga” Keluarga adalah ibu bapak dengan anak- anaknya.[12]




 
BAB  II
KERANGKA BERPIKIR
2.1.      Sikap Suami Isteri Dalam Efesus 5 : 22 – 33.
2.1.1.  Pengertian Sikap Suami Isteri
Menurut WJS Poerwadarminta mengatakan Sikap (Pasangan) adalah persiapan untuk bertindak, bertingkah laku, perbuatan[2]. Jadi sikap suami istri ialah tindakan atau perbuatan suami istri dalam menjalani kehidupan berkeluarga yang menuju keluarga yang bahagia.
a.   Hakekat Suami Istri
Allah berfirman dalam Kejadian 2: 18 “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.” Hal inilah membuat manusia di tempatkan Tuhan berpasang-pasangan.
            Setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda tentang perkawinan. Hal itu tergantung kepada apa alasan dan tujuan mereka untuk menikah. Di bawah ini penulis akan menguraikan dari beberapa tokoh mengenai pengertian perkawinan yakni: di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang artinya: “membentuk keluarga dengan lawan jenis”[21] dan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, pasal 1 bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”[22].
            Ikatan lahir batin antara suami Isteri ini juga harus dilandasi dengan rasa sating kasih mengasihi, bantu membantu serta membagi suka dan duka antar satu dengan yang lain, demikian juga dengan harta benda bukan lagi disebut milikku atau milikmu tetapi menjadi milik kita. Disamping pengertian perkawinan di atas maka menurut K.Wijaya Mukti menjelaskan ialah :
Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin dari dua orang yang berbeda jenis kelamin yang hidup bersama untuk selamanya dan bersama-sama melaksanakan Dharma agar memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan sekarang ini ataupun kehidupan yang akan datang. Dasar perkawinan ini tidak bisa lain darn cinta. Berdasarkan hubungan jasa-jasa yang lampau atau sekarang ini maka cinta bersemi bagaikan teratai dipermukaan air[23]

Selanjutnya juga dikatakan bahwa; “bila wanita dan pria keduanya mengharapkan berjodoh satu sama lain dalam kehidupan sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang mereka harus memiliki kepercayaan yang sebanding, budi pekerti yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding dan bijaksana yang sebanding”[24]. Sedangkan Wanda Humble menuturkan bahwa :
Perkawinan adalah hubungan antara pria dan wanita yang dikehendaki oleh Allah untuk mencari hubungan yang monogami. Dikehendaki menjadi perjanjian yang permanen dan di dalamnya banyak keperluan dipuaskan, keperluan untuk dikasihi dan mengasihi, keperluan untuk persahabtan yang mendalam, untuk saling berbagi untuk hubungan yang seksual yang memuaskan, untuk anak-anak, keperluan untuk menghilangkan kesepian. Perkawinan harus merupakan perjanjian cinta kasih, pantulan dari kasih Kristus yang diberikan kepada UmatNya, satu perjanjian kasih yang penuh pengorbanan diamana suami Isteri telah menjadi satu, sedaging dan satu kesatuan.[25]
           
            Dan menurut Tulus Tu'u S.Th mengatakan : “Perkawinan Kristen adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami Isteri, yang di dasari akan iman kepada Yesus Kristus. Pernikahan itu berpusat pada Yesus Kristus adalah Tuhan atas pernikahan”[26]
            Persatuan cinta suami Isteri tersebut diharapkan dapat menghasilkan keturunan atau anak. Jadi dapat disimpulkan bahwa ikatan lahir bathin antara pria dan wanita yang sudah dikehendaki oleh Allah untuk membentuk keluarga yang baru. Ikatan yang baru ini juga harus dilandasi dengan kasih kepada Allah (vertikal) dan kasih kepada sesama manusia (Horizontal). Bila kasih ini diutamakan di dalam perkawinan maka kebahagiaan dan kedamaian kekal akan menjadi pengalaman di dalam rumah tangga untuk selamanya.
            Sebelum seorang pria dan wanita melangsungkan pernikahan, sebaiknya kedua pasangan ini terlebih dahulu memahami apa yang menjadi tujuan perkawinan mereka. Dengan adanya pemahaman tersebut mereka dapat mengetahui apa yang harus dilakukan dan yang akan dicapai untuk masa yang akan datang. Adapun yang menjadi tujuan perkawinan menurut I. Nyoman Arthayasa adalah : “Untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”[27]. “Kebahagian yang dimaksud disini bukan bukan hanya menumpuknya harta benda atau kepuasan dalam hubungan seks saja, tetapi terpenuhinya kebutuhan jasmani dan juga rohani.[28] Selanjutnya dikatakan juga bahwa “Tujuan perkawinan yang lain adalah supaya bisa menghasilkan keturunan dan bisa diajak bekerja sama untuk melaksanakan Dharma agama dan Dharma Negara”.[29]
Team pembinaan persiapan keluarga menjelaskan tujuan perkawinan itu sebagai berikut :
  1. Kelangsungan bangsa (Keturunan). Perkawinan itu sekedar cinta‑cintaan berdua, melainkan supaya berdasarkan cinta kasih tersebut tumbuhlah baru (manusia baru)
  2. Perkembangan pribadi, artinya bahwa manusia itu perlu untuk dikasihi dan dicintai. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan supaya yang satu merupakan yang lain.
  3. Kesejahteraan keluarga merupakan kesejahteraan masyarakat yang artinya nilai yang ditimba dari keluarga akan terpantul dalam lingkungan masyarakat dengan sebaliknya pengalaman baik dan buruk dalam kesejahteraan keluarga sangat mempengeruhi tindakan masyarakat. Untuk mensejahterakan keluarga perlu adanya kejujuran/sikap terbuka.[30]
            Seorang tokoh agama Budha Cornelis Wowor menjelaskan bahwa: “Tujuan perkawinan itu membentuk rumah tangga yang aman, damai, rukun dan sejahtera pada kehidupan sekarang ini, juga masing-masing individu mengharapkan agar perkawinan mereka masih dapat berlanjut hingga pada kehidupan yang berikut setelah mereka dipisahkan oleh maut pada kehidupan sekarang”.[31] Perkawinan ini juga bertujuan untuk membiakkan umat manusia, jika tidak ada perkawinan pasti tidak ada keluarga, tak ada ikatan keluarga, tak ada daya kekuatan yang mempersatukan berbagai unsur dalam masyarakat dan akibatnya tak ada pendapat. Hanya melalui keluarga sajalah umat manusia dapat dipersatukan dan peradapan dapat diwujudkan.
Di dalam adat dan upacara perkawinan Daerah Sumatra Utara memaparkan tentang perkawinan yakni :
Di dalam adat Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak memiliki tujuan perkawinan yaitu :
1.    Untuk Dapat Melanjutkan Keturunan.
2.    Untuk dapat memperoleh anak laki-laki agar ada yang mewarisi segala harta benda yang ditinggalkan oleh orang tuanya kelak.
3.    Memupuk hubungan keluarga antara satu pihak lain sesuai dengan unsur-unsur yang terdapat pada dalihan natolu.
4.    Menambah kaum kerabat sebab perkawinan bersifat eksogami.
5.    Merupakan  syarat untuk memperoleh kebahagiaan.
6.    Melaksanakan ajaran agama.
7.    Merupakan keharusan menurut adat batak sebab suatu hal yang memalukan bila putra/putri yang sudah dewasa tidak dikawinkan.[32]
Dan menurut Wanda Humble berpendapat bahwa tujuan perkawinan itu ialah :
a. Tujuan yang pertama yang bisa kita lihat adalah supaya saling menolong, Kejadian 2:18 “Tuhan menciptakan seorang wanita bagi adam supaya wanita itu menjadi penolong bagi Adam”
b.  Tujuan yang kedua dalam perkawinan adalah supaya saling bersekutu. Hawa diciptakan Tuhan ditengah-tengah kesendirian Adam. Semua binatang sudah diciptakan Tuhan (Kejadian 2:19-20) tetapi tidak ada yang dapat bersekutu dengan Adam.
c.  Tujuan yang ketiga adalah supaya memperoleh anak, dalam Kejadian 1:28 dituliskan “beranakcuculah dan bertambah banyak”
d.   Tujuan ke empat dalam perkawinan adalah supaya menjadi pasangan suami Isteri selama-lamanya. Dalam kejadian 2:24 dituliskan “sebab itu lain-lain akan meninggalkan ayah dan ibunya sehingga keduanya menjadi satu daging”,           Markus 10 :9 Berkata “Apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”
e.    Tujuan kelima adalah Supaya rumah tangga kristen menjadi berkat bagi orang lain, Tuhan Yesus memakai istilah garam dan terang dunia supaya orang yang melihat kita mempermuliakan nama Bapa di sorga (Matius 5:13-16)[33].
Dan untuk memperjelas tujuan perkawinan di atas maka penulis menuliskan lebih spesifiknya yaitu :
  1. Memperoleh Keturunan
            Salah satu tujuan keluarga adalah memperoleh keturunan, tujuan Allah menciptakan keluarga itu adalah agar melaksanakan amanat Allah, memenuhi bumi dan menciptakan keturunan “beranak cuculah dan bertambah banyak (Kej. 1:28b). Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling istimewa yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Manusia diciptakan pada hari yang keenam dan demikian juga dengan mahluk hidup lainnya segala jenis binatang (Kej 1:24). Dan berbicara dengan masalah keturunan dapat kita lihat persamaan yang ada dengan manusia dan hewan. Menurut Drs. R.Suhartini C. Mengatakan :
              Rupanya dalam hal memperoleh keturunan dunia manusia tidak berbeda dengan  dunia hewan, mempertahankan jenisnya dorongan ini demikian kuatnya sehingga suami Isteri akan kecewa sekali apabila dalam perkawinan tidak menghasilkan keturunan[34]

            Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa kecenderungan memperoleh dan mempertahankan jenisnya (reproduksi) bukan saja ada pada hewan, tetapi terdapat juga pada manusia, sekalipun ada bedanya dengan hewan. Dorongan bersetubuh (cuitus), pada binatang hanya berfungsi untuk memperoleh keturunan (reproduksi). Artinya jantan pada hewan hanya berhasrat bila si hewan betina dalam keadaan subur. Sebaliknya pada manusia persetubuhan, bukan semata-mata reproduksi saja, tetapi kapan saja suami Isteri kehendaki kecuali pada waktu Isteri menstruasi (haid). Selanjutnya kecenderungan memperoleh keturunan pada manusia dikenal sebagai dimensi prokreasi.
            Bila berbicara bahwa tujuan pernikahan salah satu memperoleh keturunan lewat hubungan sex, itu merupakan usaha Allah mendesain sex. Maka timbullah pertanyaan apakah Allah mengizinkan reproduksi saja sebagai alat memperoleh keturunan sementara cara lain (bayi tabung) Allah tolak ? dalam hal ini Jhonathan A. Trisna mengatakan : “Sejak semula Allah mendesain sex untuk mendapat keturunan. Ini tentunya tidak berarti bahwa semula / segala cara lain salah dan bertentangan dengan kehendak Allah dan oleh karena itu harus ditolak (misalnya mendapat keturunan dengan “bayi tabung).[35]
            Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa sekalipun prokreasi adalah cara yang Allah gunakan untuk memperoleh keturunan, Allah juga mengiginkan cara lain untuk mendukung reproduksi sejauh tidak bertentangan dengan Firman Allah.
            Suatu hal yang perlu diperhatikan mengenai tujuan berkeluarga memperoleh keturunan ialah tanggung jawabnya, banyak pasangan yang menderita dan tertekan bila tidak mencapai tujuan ini yakni memperoleh keturunan. Bahkan masalah keturunan ialah salah satu penyebab timbulnya perceraian. Bahkan karena alasan tersebut Isteri rela di madu (Suami berpoligami). Tetapi bila pasangan telah mencapai tujuan pernikahan mereka tetap puas saja. Banyak diantara pasangan tidak menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap keturunan. Untuk menjadi Ayah dan ibu tidak cukup hanya membesarkan anak saja. Tetapi harus membesarkan dan memelihara anak tersebut dari segi jasmani (pertumbuhan), Psikologi (mental), intelek (pendidikan), dan rohani (agama). Dalam hal ini juga Jakub Nahuway mengatakan :
Jadi tanggung jawab beranak cucu adalah tanggung jawab suami Isteri. Dan jika tanggung jawab ini dilaksanakan dengan benar maka akan mendatangkan kebahagiaan bagi keluarga, tetapi jika tidak dilaksanakan dengan benar maka berdosa dihadapkan Allah yang memberi tanggung jawab itu.[36]

            Dari pandangan di atas, jeiaslah suami Isteri yang menyadari tugas tanggung jawab dan melaksanakan dengan baik maka akan mendatangkan kebahagiaan.berarti Ietak kebahagiaan suatu keluarga terletak pada pelaksanaan tanggung jawab orang tua tersebut, dalam memainkan peranannya. Sebaliknya suami Isteri yang tidak memainkan peranannya dengan baik dalam mengurus anak adalah berdosa dihadapan Allah.
  1. Mencari Kebahagiaan
            Tujuan kedua dari pekawinan adalah mencari kebahagiaan, dan disini dikatakan oleh R. Suhartini ialah :
Orang kawin juga mencari kebahagiaan, dua orang yang saling mencintai hanya dapat dibenarkan merealisasikan cinta kasihnya itu dalam ikatan perkawinan. Kebahagiaan ini dapat bersifat jasmani yaitu terpenuhi kebutuhan jasmaniah dan khususnya hubungan sex tetapi dapat juga bersifat rohani[37]

            Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa fungsi dari pada rekreasi (sex semata-­mata sebagai mendapat kebahagiaan) hanya untuk mencari kenikmatan kebahagiaan saja tetapi dimensi rekreasi ini bertujuan juga sebagai obat atas fisik yang tidak bergairah yang terlalu tegang serta emosi yang tidak stabil, artinya ketegangan fisik ini dapat disalurkan melalui sex dalam ruang lingkup pernikahan.
Menikmati dan memelihara hubungan sex lainnya saling mendapat kebahagiaan pernikahan, kemesraan antara suami Isteri sudah memiliki anak boleh menyisikan waktu untuk berdua seperti masa pacaran dulu guna memelihara kemesraan dan keintiman supaya si iblis tidak mengambil kesempatan untuk merusak hubungan tersebut.
            Tetapi pada kenyataannya banyak pasangan yang tidak mencapai tujuan kebahagiaan ini dalam keluarga. Padahal tujuan inilah yang mereka gumuli bertahun­-tahun pada masa pacarannya. Masalah ini biasanya disebabkan keberbedaan yang mencolok dari kedua pasangan dalam mencapai titik klimaks sex (orgasme). Biasanya sang suami sudah duluan mencapai orgasme sementara sang Isteri masih mau memulai (berpancing). Hal ini sering menjadi konflik dalam kehiduan sex.  Dalam hal ini Vokhard dan Gerlinde Scheunemann mengatakan dari solusi ini : “Kekurangan pengertian emosional antara laki-laki dan perempuan menjadi sumber salah paham, titik berat seorang laki-laki terletak dalam hal jasmaniah pada tubuhnya, wanita dalam jiwanya, perasaannya, wanita memberi sex untuk kasih”[38]
            Dari pendapat-pendapat di atas, sebagai solusi dari konflik dalam kehidupan suami Isteri adalah pertama, bagi pasangan suami Isteri harus ada keterbukaan dari hati ke hati mengenai ketidak selarasan kepuasan hubungan sex tersebut. Selanjutnya pasangan suami Isteri harus memiliki kesadaran bahwa sex harus di tempatkan secara benar.
            Untuk mewujudkan hal ini kedua pasangan suami Isteri harus mempelajari psikologi pasangan, disamping saling terbuka. Psikologi untuk suami titik berat hubungan sex terletak pada jasmani, atau pada tubuh pasangannya. Yang dikenal istilah “laki-laki memberi kasih untuk sex” demikian pula untuk wanita psikologinya ialah hubungan sexnya terletak pada jiwa dan perasaannya yang dikenal dengan istilah “Isteri memberi sex untuk kasih” masalah lain sering ditemukan halangan mencapai tujuan kebahagiaan adalah sang Isteri sering diseberangi rasa jijik dan takut saat bersetubuh. Dalam hal ini Naek L. Tobing menanggapi penyebabnya :
Lebih jauh lagi, dari nara sumber datangnya jijik dan takut tersebut? Mungkin pernah mendengar cerita bahwa penis pria itu kotor membawa penyakit dan lain-lain, mungkin pernah mau diperkosa seseorang. Atau barang kali pernah mendengar cerita bahwa penis masuk, sakitnya bukan main dan bisa membuat orang pingsan[39]

            Dari pendapat di atas, jelaslah bahwa disamping keberadaan pencapaian titik puncak dalam hubungan sex, Isteri sendiri merasa jijik dan takut. Biasanya rasa jijik dan takut disebabkan beban-beban pikiran yang negatif yang dibawa sejak masih gadis. Apabila pikiran-pikiran negatif dihilangkan maka hubungan suami Isteri akan normal kembali maka sasaran mencapai kebahagiaan akan tercapai.
            Disamping itu yang membuat suami Isteri sering menemukan konflik hubungan seksual dalam masa-masa awal pernikahannya adalah dangkalnya pengetahuan yang mereka miliki sebelum memasuki pernikahan. Bahkan banyak pasangan muda yang memasuki pernikahan tidak diperlengkapi dengan pengetahuan pernikahan melalui konseling pranikah. Mengingat hubungan seksual menempati tempat yang penting dalam kehidupan pernikahan maka sikap hati yang bijaksana perlu dimiliki suami Isteri terutama suami sebagai kepala keluarga, hal ini Tim dan Baverly Lahaye mengatakan:
Perlakuan yang kasar atau menyakitkan dapat dengan mudah mematikan keinginannya untuk berhubungan intim selama beberapa hari, ketika perasan seorang wanita telah di injak-injak oleh suaminya. Sering kali ia menolak cumbu rayu suaminya. Dan ini juga dikemukakan oleh Gary Smalley, bila anda telah dipandang rendah, diremehkan dan dikritik selama bertahun-tahun mungkin sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan sex. Banyak wanita mengatakan bahwa bercinta dengan suami tanpa persiapan terlebih dahulu secara emosional membuat mereka merasa seperti pelacur.[40]

            Dari pendapat di atas bahwa amarah dan sakit hati yang suami perbuat jika tidak cepat diselesaikan pada Isteri maka akan menghancurkan keharmonisan keluarga terutama dalam hubungan seksual.

  1. Mengembangkan Kepribadian
            Tujuan keluarga yang ketiga adalah mengembangkan kepribadian. Sikap­-sikap positip yang dimiliki pria dan wanita yang ada sejak mudanya akan semakin berkembang nyata setelah wanita dan pria tersebut membentuk keluarga. Dalam hal ini R Suhartini C, mengatakan:
Umumnya seseorang baru tampak kebijaksanaannya apabila sudah berkeluarga. Perkembangan lain yang didapat dalam keluarga tambah sabar, tambah akal pikiran, tambah semangat, tambah besar tangung jawab, pendek kata lekas dapat mencapai kedewasaan atau kematangan.[41]

            Dan pendapat di atas jelaslah, bahwa pengembangan pribadi itu terlihat nyata dalam hal ini kesabaran: sabar mengurus anak dari bayi sampai dewasa. Sabar melihat dan menerima kelemahan suami yang suka membuat alasan-alasan terlambat pulang kerumah dari pekerjaan serta sabar menerima kelemahan­kelemahan lainnya. Sabar menerima kelemahan adik ipar dan mertua. Memiliki semangat hidup dalam keluarga untuk suatu visi membahagiakan keluarga dalam mencari uang dan menyekolahkan anak, tambah dewasa berpikir dan tambah menyadari besarnya tanggung jawab dalam pekerjaan dan keluarga.

  1. Menjadi Bagian Masyarakat atau Negara
            Selain mendapat anak, mencari kebahagiaan dan pengembangan kepribadian menjadi bagian masyarakat atau Negara adalah juga merupakan dari tujuan pernikahan. Dalam hal R. Suhartini C Mengatakan :
Keluarga merupakan unit masyarakat yang terkecil. Sulit dibayangkan adanya masyarakat atau negara tanpa adanya keluarga sebagai bahagian masyarakat, keluarga dapat menyumbangkan jasa jasa dan produksinya kepada masyarakat dan keluarga saling mempengaruhi[42].

            Dari pendapat di atas jelaslah, bahwa keluarga adalah bagian dari masyarakat, oleh sebab itu keluarga dan masyarakat saling mempengaruhi dan membutuhkan. Dalam hal ini tiap keluarga dapat menyumbangkan jasa-jasa, pikiran dan produksinya kepada masyarakat. Bentuk yang konkrit dalam mengembangkan diri dan menjadi bagian masyarakat adalah dalam hal bekerja. Banyak motivasi bekerja dari seorang suami atau Isteri.
            Lebih dari pada itu bahwa tujuan keluarga sebagai bagian masyarakat dalam mengembangkan jasa, produksi dan pikirannya lewat bekerja adalah sebagai sumbangsih masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini Dorthi L. Marx mengatakan:
“Pekerjaan bukan hanya menentukan nilai dari pada sumbangsih kita terhadap masyarakat setempat, melainkan sumbangsih itu sendiri dan mengembangkan potensi-potensi dari kepribadian kita masing-masing”.[43]

Berhubungan dengan itu Sasangko Sudarjo menambahi:
“Menurut Brawing tugas kita adalah mengusahakan agar apa yang telah dianugrahkan Tuhan dapat dimamfaatkan semaksimal mungkin, sebenamya hidup didunia ini tidak lebih untuk menyenangkan dan membahagiakan orang banyak”.[44]

            Dari pendapat di atas, jelaslah bahwa pekerjaan, ide, jasa dan produksi yang kita hasilkan (pemanfaatan atas anugrah Tuhan) adalah sebagai suatu sumbangsih itu sendiri yang bertujuan membahagiakan dan menyenangkan orang banyak.
            Dari beberapa tujuan perkawinan yang telah diuraikan beberapa tokoh, maka dapat disimpulkan bahwa: Adapun yang menjadi tujuan perkawinan bagi manusia adalah membentuk keluarga yang baru yang di dalamnya banyak kebutuhan dipuaskan. Di dalam tujuan perkawinan juga manusia dapat belajar mengasihi Tuhan yang telah menciptakan mereka dengan berpasang-pasangan sehingga mereka dapat saling memperlengkapi.
            Dengan adanya tujuan perkawinan itu juga manusia dapat mengetahui apa yang menjadi rencana untuk yang akan datang. Apa yang seharusnya mereka lakukan haruslah bergantung kepada yang sudah disusun. Untuk mencapai tujuan perkawinan itu memang tidaklah mudah, akan tetapi jika dilakukan dengan kasih dan sabar pastilah akan tercapai sesuai dengan apa yang diinginkan.
            Perkawinan dalam agama Kristen harus kita bahas satu persatu dan terlebih dahulu kita membahas perkawinan menurut perjanjian Lama adalah perkawinan yang monogami artinya “Sistem yang hanya pmemperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu Isteri pada jangka waktu tertentu”[45]. Kebenaran Firman Tuhan juga menjelaskan bahwa “Tuhan Allah membuat manusia itu (Adam) tidur nyenyak; ketika ia tidur Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu , dibangunyalah seorang perempuan lalu dibawanya kepada manusia itu. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan Isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging, Kejadian 2:21-22,24. Seorang tokoh kristen Joyce coon juga mengatakan di dalam bukunya Rencana Allah Bagi Rumah Tangga Kristen bahwa :
Allah menciptakan pernikahan yang pertama ketika ia membawa perempuan itu kepada Adam. Allah memberikan dia kepada Adam untuk hidup bersama­sama dengan dia dan menjadi Isterinya. Allah tidak membuat seorang laki-laki lain untuk menjadi teman adam, tetapi Allah membuat seorang perempuan. Ia akan tinggal bersama dengan adam selama hidupnya dengan hidup bersama‑ sama mereka berdua menjadi lengkap dan daat menanggulangi segala sesuatu yang akan mereka hadapi dalam hidup ini[46].

            Dan beberapa pandangan di atas dapat dipahami bahwa, dari semula Tuhan sudah menetapkan perkawinan yang monogami. Pernikahan Adam dengan Hawa yang ditetapkan sekali untuk selamanya. Tuhanpun memberkati mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak penuhilah bumi dan taklukkanlah itu”. Hal ini membuktikan bahwa hubungan suami Isteri itu tetap berlangsung sampai kematian yang memisahkan mereka, Kejadian 1:28.
            Tuhan tidak menginginkan perceraian, Maleakhi 2:15-16: "Bukankah Allah Yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? keturunan Ilahi, jadi jagalah dirimu. Dan janganlah orang tidak setia terhadap Isteri dari masa mudanya, sebab Aku membenci perceraian, Firman Tuhan, Allah Israel. Dan perkawinan dalam Perjanjian Baru akan kita bahas ke yang berikutnya karena itulah yang menjadi topik pembahasan kita dalam tulisan ini.

2.1.2. Eksegese Efesus 5 : 22 - 33
Dalam Perjanjian Baru, Allah juga telah menetapkan Perkawinan yang didasarkan atas Kasih Kristus. Di dalam Efesus 5 : 22-33 ini akan kita lihat bagaimana sikap suami Isteri dalam hidup rumah tangga kristen yang dikehendaki oleh Allah.      Paulus menuliskan nasihat ini supaya umat kristen mengerti akan kehendak Allah dalam menjalani hidup berumah tangga. Lihat Struktur Ayat berikut :
22.                Α γυνακες τος δοις νδρσιν ποτσσεσθε ς τ Κυρίῳ,
23.                 τι νρ στι κεφαλ τς γυναικς, ς κα Χριστς κεφαλ τς κκλησας, κα ατς στι σωτρ το σματος.
24.                λλ σπερ κκλησα ποτσσεται τ Χριστ, οτω κα α γυνακες τος δοις νδρσιν ν παντ.
25.                ο νδρες γαπτε τς γυνακας αυτν, καθς κα Χριστς γπησε τν κκλησαν κα αυτν παρδωκεν πρ ατς,
26.                να ατν γισ καθαρσας τ λουτρ το δατος ν ῥήματι,
27.                να παραστσ ατν αυτ νδοξον τν κκλησαν, μ χουσαν σπλον υτδα τι τν τοιοτων, λλ να γα κα μωμος.
28.                οτως φελουσιν ο νδρες γαπν τς αυτν γυνακας  ς τ αυτν σματα. γαπν τν αυτο γυνακα αυτν γαπ·
29.                οδες γρ ποτε τν αυτο σρκα μσησεν, λλ κτρφει κα θλπει ατν, καθς κα Κριος τν κκλησαν·
30.                τι μλη σμν το σματος ατο, κ τς σαρκς ατο κα κ τν στων ατο·
31.                ντ τοτου καταλεψει νθρωπος τν πατρα ατο κα τν μητρα κα προσκολληθσεται πρς τν γυνακα ατο, κα σονται ο δο ες σρκα μαν.
32.                τ μυστριον τοτο μγα στν, γ δ λγω ες Χριστν κα ες τν κκλησαν.
33.                πλν κα μες ο καθ να καστος τν αυτο γυνακα οτως γαπτω ς αυτν, δ γυν να φοβται τν νδρα.[47]

Bagian tafsiran ini terdiri dari :

1. Sikap Isteri Terhadap Suami (Ef. 5:22-24)
22.                Α γυνακες τος δοις νδρσιν ποτσσεσθε ς τ Κυρίῳ,
23.                 τι νρ στι κεφαλ τς γυναικς, ς κα Χριστς κεφαλ τς κκλησας, κα ατς στι σωτρ το σματος.
24.                λλ σπερ κκλησα ποτσσεται τ Χριστ, οτω κα α γυνακες τος δοις νδρσιν ν παντ.

            Dalam Efesus 5: 22-24 dijelaskan “Hai Isteri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala Isteri sama seperti kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh, karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian juga Isteri kepada suami dalam segala sesuatu”.
            Yakni “tunduk” jika kita bandingkan Alkitab bahasa Yunani dengan bahasa Indonesia, akan kita temukan perbedaan. Yang pertama dalam kitab bahasa Yunani, perikop “Kasih adalah Dasar Hidup Suami Isteri” diawali dari Efesus 5:21-23. sementara kitab bahasa Indonesia, perikop “Kasih Dasar Hidup Suami Isteri” diawali dari Efesus 5:22-23. perbedaan kedua, kata “tunduk”= ύποταγή (hupotage) dalam Alkitab bahasa Yunani terdapat hanya satu kali saja yakni di Efesus 5:21 “rendahkanlah dirimu” =(Ηυποτασσομενοί = hupotassomenoi). Kata tunduk dalam ayat 21 berlaku untuk ayat 22 “tunduklah”  τοίς Ιδίοίς (tois idios).
            Untuk lebih spesifiknya, penulis membahas Efesus 5: 22 “Hai Isteri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”. Kata “tunduklah” – Yunani (Tois idios) yang artinya :
–       Tois (τοίς). Analisis kata ini adalah kata ganti orang ketiga (nya), jamak, datif. Kata ganti refleksif , datif menyatakan : kepadanya.
–       Idios (Ιδίος), analisis kata ini adalah partisif, kini, medial adalah tindakan yang terjadi bersamaan waktu dan tindakan kata kerja pokok. Kata ini secara literal menjadi tunduk secara terus menerus terhadap milik sendiri. Dari analisis tersebut, penulis memparaprasikan ayat ini sebagai berikut: “Isteri-Isteri tunduklah (dari akar kata rendahkanlah dirimu (21) secara terus menerus untuk dirimu sendiri kepadanya (suamimu) seperti kepada Tuhan” dengan kata lain akibat dari kata tunduk itu, bukan saja bagi si suami tetapi juga berakibat positif bagi si Isteri (din sendiri).
                        Dari analisis bahasa aslinya bahwa kata “tunduk” disini adalah tunduk secara terus menerus terhadap milik sendiri (suami). Penafsir Dr, J.L. Abineno berpendapat :
Sikap penundukan diri (upotage) ini yang paulus tuntut dari Isteri-Isteri terhadap suami-suami mereka, kita temui dalam rupa-rupa bentuk dan variasi dalam PB. Dalam Titus 2:9 (Bnd 1 Pet 2:18) bahwa hmba-hamba harus tunduk kepada tuan mereka dalam segala hal kepada orang-orang muda petrus menasehatkan supaya mereka menundukkan diri kepada orang-orang tua terhadap satu sama lain 1 Pet 5:5. nasehat yang sama Paulus berikan kepada anggota-anggota jemaat Rm 13:1-7, terhadap negara Tit 3:1; l Pet 2:13 dan kepada ank-anak terhadap orang tua mereka Ef 6:1[48] Sesuai pendapat di atas, bahwa kata yang sama (υποταγή = upotage), Paulus pakai juga dalam hubungan suami Isteri. Hal di atas, (ύποταγή hupotage), sangat benar yang dijelaskan oleh kamus Yunani-Indonesia: (ύποταγή = hupotage) ketaatan, ketaklukan, ketundukan, kepatuhan.

Penekanan kata “tunduk” secara terus menerus yang ditekankan pada kitab Efesus disebabkan latar belakang masyarakat Efesus yang dikelilingi agama dan budaya kekafiran. Dimana para wanita memegang peranan penting (menguasai) dalam aspek kehidupan baik mulai dari pemerintahan, pekerjaan rumah tangga, sampai kepada peribadatan (imam-imam). Hal itu didukung oleh legenda yang dipercayai oleh orang Efesus.
            Orang menyatakan bahwa kota pertama didirikan tiga ribu tahun SM dan kota itu dinamai menurut seorang Ratu Amazon yang bengis. Menurut legenda suku bangsa amazon berasal dan, suku bangsa wanita yang suka berperang yang menawan dan yang memperbudak kaum pria.
            Berdasarkan latar belakang bangsa tersebut di atas, Paulus menekankan kepada jemaat Efesus (perempuan) yang datang dari latar belakang kekafiran, agar meninggalkan kebiasaan lama yang suka menguasai para pria/suami, dalam segala aspek kehidupan.           Beralih pada kebenaran Kristus untuk tunduk (taat, patuh dan takluk) kepada suami seperti kepada Kristus, secara terus menerus. Karena perempun/Isteri (jemaat Efesus) sekarang sudah berada/ berimankan kepada Kristus. Karena suami adalah kepala Isteri. Paulus mengambil contoh bahwa kedudukan suami sama seperti kedudukan Kristus dalam Gereja-Nya yakni sebagai kepala.
            Kata “tunduk” bukanlah menunjukkan meremehkan atau merendahkan martabat wanita, melainkan merupakan penghargaan yang tinggi terhadap wanita seperti kata D. Scheunemann :Meskipun Firman Tuhan memberi kewibawaan kepada kaum pria atas wanita, bahkan menuntut penaklukan diri dari seorang Isteri terhadap suami namun hal itu sama sekali tidak berarti bahwa wanita dianggap lebih rendah martabatnya dari pada lain-lain. Sebaliknya mulai dari Hawa, ibu dari segala yang hidup lewat Debora yang memimpin tentara israel sampai kepada Maria yang telah melahirkan Juruslamat dunia, nampak sekali penghargaan yang tinggi terhadap wanita.[49]
            Kata “tunduk” tidak hanya berlaku dipraktekkan kepada suami-suami yang sudah bertobat (sungguh-sungguh hidup di dalam Tuhan) saja. Tetapi sebaliknya ketundukan itu juga justru harus berlaku dan diterapkan kepada suami-suami yang belum bertobat. Untuk memenangkan suami-suami yang belum bertobat itu bagi Kristus. 1 Petrus 3:1-2 memberi petunjuk : demikian juga hai kamu Isteri-Isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada diantara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan Isterinya, jika mereka melihat bagaimana murni dan salehnya hidup Isteri mereka.
            Jelaslah bahwa sikap tunduk itu tidak hanya berlaku diterapkan pada suami yang sudah bertobat saja melainkan justru lebih dari ini penekanannya pada suami yang belum bertobat, karena disamping sikap murni dan saleh Isteri tersebut dapat memenangkan suami yang belum bertobat, penundukan pada suami tersebut merupakan pelayanan kepada Allah. Karena suami adalah kepala dari Isteri.
            Namun perlu disadari bahwa kata penundukan disini tidak menyangkut kepada hal untuk berbuat dosa, seperti yang diungkapkan oleh Gangga Eltho di dalam bukunya, Intimacy yaitu :
Isteri tunduk kepada suami diwujudkan dengan sikaf dan perbuatan yang penuh rasa hormat, yang tulus. Sikap hormat ini terlepas dari tindakan maupun karakter suaminya yang buruk, akan tetapi bagaimanapun Isteri harus tetap menunjukkan penghargaan dan memperlakukannya dengan sopan. Jangan harga dirinya dilecehkan dan dicemoohkan didepan umum. Jangan pernah memberi kesan jelek kepadanya, jangan membuat suami menjadi malu terhadap pekerjaannya. Jangan mendongkol setiap ide pikirannya dengan memperdebatkannya dan memojokkannya dan jangan sekali-kali mengendalikan atau menguasai suaminya, sebab bukan suami yang harus tunduk, tetapi Isteri yang harus tunduk kepada suami[50]

            Sesuai pendapat di atas, dimana sikap tunduk ditunjukkan Isteri kepada suami dengan perbuatan yang penuh rasa hormat dan tulus walaupun suaminya jahat ataupun kasar dengan kata lain suami sering memperlakukan Isteri dengan sikap yang buruk, tidak menghargai dan mensepelekan Isteri tetapi Isteri harus tetap tunduk kepada suami dimana tidak pernah suami yang disuruh tunduk melaikan Isterilah yang tunduk kepada suami hal inilah sesuai dengan pendapat di atas. Sebagai Isteri jangan pernah memberi kesan jelek dan rasa dongkol kepada suami karena kita melakukan ini semua hanya untuk Tuhan.
Dan menurut Alkitab Penuntun dikatakan bahwa :
Isteri, Tunduklah ini mengandung arti bahwa Isteri memperoleh tugas yang diberikan Allah untuk membantu dan tunduk kepada suaminya, kewajibanya kepada suaminya meliputi kasih (Tit 2:4), hormat (1 Pet 3:1-2), bantuan(Kej 2:18), Kesucian (Tit 2:5), pengembangan roh yang lembut dan dan tenang dan menjadi seorang ibu dan pengatur rumah tangga yang baik. Tunduknya seorang Isteri kepada suaminya dilihat oleh Allah sebagai bagian dari ketaatannya kepada Yesus, “seperti kepada Tuhan”. Suami...Kepala. Allah telah menetapkan keluarga sebagai kesatuan dasar sebuah masyarakat. Setiap keluarga harus memiliki seorang pemimpin. Oleh karena itu Allah telah menyerahkan kepada suami tanggung jawab menjadi kepala Isteri dan keluarga, kepemimpinannya itu harus dilaksanakan di dalam kasih, kelembutan, dan tenggang rasa terhadap Isteri dan keluarganya. Tanggung jawab suami yang diberikan Allah sebagai "kepala Isteri" meliputi Penyediaan kebutuhan rohani dan kebutuhan rumah tangga bagi keluarganya, kasih, perlindungan dan perhatian untuk kesejahteraannya sebagaimana Kristus mengasihi gereja, hormat, pengertian,penghargaan dan perhatian, kesetiaan mutlak terhadap ikatan pernikahan[51]

            Dalam Alkitab penuntun ini dikatakan Isteri tunduk itu memperoleh tugas dari Allah untuk dilakukan yang di dalamnya ada kasih, hormat, bantuan, kesucian dan lemah lembut dan tenang itulah Isteri yang di idam-idamkan seorang suami menjadi Isterinya. Hal inilah Isteri harus benar–benar menjadi ibu dalam rumah tangga mereka dari situ akan nampak terlihat penundukan Isteri terhadap suami tercermin dari tingkah laku dan tutur bicaranya.
            Isteri juga harus benar-benar dengan tulus mengasihi keluarganya dengan segenap hati dan jiwanya maka Isterilah yang menyediakan kebutuhan dalam rumah tangga itu, jadi Isteri akan memberikan pengertian, penghargaan dan perhatian, kesetiaan, penuh dalam rumah tangganya karena itulah perintah Allah yang harus dilakukan bagi seorang Isteri.
Dan dalam Tafsiran Alkitab masa kini dikatakan bahwa :
Kata Tunduklah mengingat pemakaian kata kerja yang sama dalam l korintus 14 : 34 dan mungkin menunjukkan bahwa ayat ini pun harus dilihat sebagai pembicaraan kedudukan wanita dalam keanggotaan gereja. Kedudukan sebagai kepala dimiliki oleh Kristus maupun pria sebagai suami (dipakai kata Yunani Aneh bukan kata umum untuk manusia, anthropos namun pemakaian itu bukan tidak bisa diubah karena kutipan dalam ayat 31 memakai kata anthropos). Kristus adalah jugs juruslamat gereja dan memberikan pengertian bahwa Kristus memelihara gereja .[52]
            Disini digambarkan Tuhan bahwa Isteri harus tunduk kepada suami seperti bahwa bagaimana kedudukan seorang wanita dalam gereja harus tunduk kepada Allah dimana jemaat (mempelai wanita) harus tunduk kepada mempelai pria (Kristus) itu menunjukkan posisi kita dalam gereja bahwa kita harus benar-benar tunduk kepada perintah Allah dan melakukaknya.
            Dari beberapa pandangan para Ahli maka kita dapat menyimpulkan bahwa seorang Isteri itu tunduk kepada suami bukan berarti, tidak berhikmat. Jika suaminya memerintahnya untuk melakukan dosa bukan berarti harus menurut akan tetapi mereka dapat menolaknya dengan sopan. "Jika suami menyuruh melanggar perintah Allah , melanggar hukum negara, dan menyiksa dirinya secara terus menerus sehingga dapat mengancam nyawanya, Isteri dapat menolaknya dengan lembut sehingga perasaan suami tidak tersinggung”[53]
            Perkawinan yang harmonis tidak terlepas dari perbutan dan tingkah laku sang Isteri. Jika setiap Isteri yang sudah menikah memiliki sikap yang tunduk kepada suaminya niscaya rumah tangga itu akan selalu bahagia dan sejahtera sampai selamannya. Namun sebaliknya apabila sikap Isteri selalu ingin menang sendiri maka rumah tangga itu akan hancur berantakan. Untuk menjaga dianjurkan kepada setiap Isteri supaya meningkatkan kasih dan peranan terhadap suami dan hal itu tidak terjadi dan keluarganya.
            Kata “tunduk” yang ditekankan Paulus yang merupakan kehendak Tuhan, menunjukkan sikap kepempinan wanita. Kata “hai Isteri tunduklah secara terus menerus kepada suami seperti kepada Tuhan. Tunduk secara terus menerus tidak dibatasi dengan waktu, Isteri tidak hanya tunduk kepada suami sebatas satu dua tahun saja, melainkan selama Isteri menjadi Isteri suami. Berkaitan dengan itu batasan ketundukan Isteri kepada suami seperti yang dikatakan dalam Roma 7:2-3 bahwa seorang Isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya hidup dan kalau suaminya mati bebaslah ia dari hukum tersebut dan ia dapat menjadi Isteri orang lain.
            Prinsip yang diperoleh dari pembahasan Efesus 5:22-24 ini bahwa Isteri ini tidak hanya terima bersih tanggung jawab suami : mengasihi dan bertanggung jawab atas ketidakadilan yang dialaminya melainkan harus menjalankan tugas Isteri terhadap suami, dengan membiasakan hidup bersikap tunduk (patuh, taat dan takluk) secara terus menerus tanpa diabatasi oleh waktu kepada suami (sekalipun suami belum bertobat) seperti tunduk kepada Tuhan sebagai suatu pelayanan terhadap Allah.

2. Sikap Suami Terhadap Isteri (Ef. 5: 25-30)
25.                ο νδρες γαπτε τς γυνακας αυτν, καθς κα Χριστς γπησε τν κκλησαν κα αυτν παρδωκεν πρ ατς,
26.                να ατν γισ καθαρσας τ λουτρ το δατος ν ῥήματι,
27.                να παραστσ ατν αυτ νδοξον τν κκλησαν, μ χουσαν σπλον υτδα τι τν τοιοτων, λλ να γα κα μωμος.
28.                οτως φελουσιν ο νδρες γαπν τς αυτν γυνακας  ς τ αυτν σματα. γαπν τν αυτο γυνακα αυτν γαπ·
29.                οδες γρ ποτε τν αυτο σρκα μσησεν, λλ κτρφει κα θλπει ατν, καθς κα Κριος τν κκλησαν·
30.                τι μλη σμν το σματος ατο, κ τς σαρκς ατο κα κ τν στων ατο·
            Berdasarkan kasus di atas, yakni asumsi pria, tentang pernikahan adalah bahwa tanggung jawab kepada Isteri hanya sebatas mencukupi kebutuhan keluarga khususnya kepada kebutuhan Isteri, hanya sebatas materi, menyebabkan pernikahan tidak bahagia dan tidak bertahan. Menurut Efesus 5:25, seorang suami perlu mengetahui kewajibannya kepada Isterinya, yang merupakan kebutuhan hakiki yakni “kasih”. Efesus 5:25: “Hai suami ,kasihilah Isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”
            Sekarang dijelaskan arti yang sebenarnya dari kewajiban tunduklah dalam ayat-ayat yang lebih dulu. Kewajiban itu adalah kewajiban dalam kasih. Kasih suami berpolakan kasih yang lebih besar seperti kasih Kristus kepada pengantinnya. Latar belakang gagasan ini terdapat dalam PL teristimewa Paulus mendasarkan ini pada perkawinan Yahweh dengan umat-Nya. Taurat menjadi perjanjian perkawinan, Musa adalah orang yang membawa pengantin kepada Allah bagi Paulus hubungan Kristus dengan pengantin-Nya, gereja merupakan cara lebih lanjut untuk mengatakan Zaman Taurat telah diganti menjadi Zaman Mesis.
Menurut Ch. Abineno :
Kata (agapao) yang terjemahan disini “mengasihi” sering dipakai untuk kasih Allah, ia menempatkan seluruh hubungan antara suami dan Isteri di bawah kuasa dan kasih Kristus. Kasih Kristus itu tidak dilukiskan dengan kata-kata yang diambil dari erotik, tetapi dengan kasih seperti yang terdapat dalam gereja dan dalam rumah tangga (keluarga). Disinilah letaknya perbedaan yang principil dengan alam pikiran kafir yang tidak asing bagi anggota-anggota jemaat di Efesus.[54]

            Kata “kasihilah” =  άγαπτε (agapate). Analisa kata ini adalah Aoris, aktif, imperative. Aoris, imperative menyatakan, “tindakan yang belum dimulai/dilaksanakan”. Kata ini secara literal, “kasih itu belum ada dilaksanakan”. Dari analisis tersebut penulis memaparkan sebagai berikut: suami - suami mulailah mengasihi Isterimu secara terus menerus. Sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya bagi manusia.
            Mengingat latar belakang budaya Efesus, dimana para Isteri yang dominan atau menguasai para suami-suami pada saat itu, sesungguhnya para suami mengasihi Isteri mereka dalam kasih suami (eros). Sebab eros (kasih birahi) itulah yang mempersatukan mereka sampai menjadi suami Isteri. Hanya kasaih yang belum suami lakukan kepada Isteri mereka adalah kasih agape (kasih ilahi), kasih Tuhan Yesus Kristus, yang diharapkannya dilakukan suami pada Isteri.
            Kasih Yesus Kristus disini adalah kasih yang memberi kasih tanpa syarat dan kasih yang sifatnya berkorban. Menyadari para suami jemaat Efesus juga datang dari latar belakang kafir dan mereka telah datang dan diselamatkan di dalam iman kepada Kristus, maka Paulus meminta jemaat (suami) untuk meneladani Yesus Kristus yang adalah kepala Gereja sendiri yang telah menyerahkan dirinya bagi Gereja dengan mati di Kayu salib, untuk menguduskan, menyucikan dan memandikan Gereja/jemaat di hadapan Allah
            Agape menghendaki, merencanakan dan melakukan segala sesuatu bagi kebaikan orang yang dikasihinya. Agape melayani dan membutuhkan pengorbanan, sebab itu perlu kedewasaan pada seseorang untuk mengasihi dengan kasih agape.
            Ketika Alkitab memerinthkan seorang suami untuk mengasihi suaminya (Ef 5 :25) kata Yunani yang digunakan adalah agape ini tidaklah muncul dengan kehendak hati yang alami, tidak selalu mengikuti kecenderungan yang masuk akal, tidak menghabiskan tenaganya karena menemukan perasaan seiring terhadap seseorang yang disenanginya.
            Berkaitan dengan itu perealisasi dari pada agape yang berpusat pada objek adalah seperti pada gambaran berikut ini: demikian kewajiban suami kepada Isteri. Ia harus dapat mengasihi secara total dan mampu menerima setelah mengampuni segala kelemahan dan kekurangan yang ada pada diri Isterinya. Jika kewajiban ini dapat terpenuhi, maka secara otomatis pula Isteri akan tunduk kepada suami.
            Artinya mengingat dalam diri pria ada potensi untuk memimpin dan berkreasi, kecenderungan untuk keras, tegas dan kejam itu ada, maka dalam keberadaan emosi dan intelek (logika) pasangannya (Isteri), yang diberikan Tuhan, suami diharapkan untuk mampu mengasihi Isteri dengan kasih agape (kasih yang berkorban), bukan mengasihi Isteri dengan kasih yang direkayasa. Bukan mengasihi Isteri dengan kasih logika. Bukan pula mengasihi Isteri dengan kasih yang membawa akibat (artinya suami mengsihi Isteri karena Isteri suka menyediakan makanan yang disukai suami), karena Isteri dapat melayani suami dengan baik ditempat tidur. Tetapi suami tidak lagi mengasihi Isteri dengan kasih Allah/agape, karena Isteri tidak lagi memperhatikan kebutuhan makanan kesukaan suami, dan karena Isteri tidak lagi mau melayani suami ditempat tidur.
            Dan ayat 26-27 "Untuk menguduskannya sesudah ia menyucikannya dengan mernandikarnya dengan air dan firman, Supaya dengan demikian ia menempatkan jemaat dihadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa tetapi biar jemaat kudus dan tidak bercela" tujuan dan buah pekerjaan-Nya bagi gereja adalah pengudusan, gereja dikeluarkan dari suasana dosa dan ditempatkan dalam suasana kekudusan. Alat untuk melaksanakan dilukiskan dengan, sesudah ia menyucikan, memandikannya dengan air dan firman harfiah dengan pemandian dengan air dalam firman pembasuhan ini hampir tidak lain adalah baptisan, sedangkan firman harus dimengerti sebagai penyataan iman dari orang yang bertobat.
            Dan melihat kedepan kepada realisasi tujuan Tuhan Yesus pada saat mempelai datang untuk menerima pengantin-Nya gereja akan cemerlang karena kudus dan tidak bercela. Ayat 28-30 “demikian juga suami harus mengasihi Isterinya sama seperti tubuhnya sendiri. Siapa mengasihi Isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pemah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya”. Sekarang ajaran itu dikenakan pembahasan yang aneh tentang kasih suami terhadap Isteri sama seperti tubuhnya sendiri mungkin terjadi karena paulus ingin melanjutkan perbandingan dengan kristus yang mengasihi tubuh-Nya, gereja. Ia memakai dua kata kerja dari dunia perawatan kanak-kanak baik mengasuh maupun merawat berarti pemeliharaan yang sungguh-sungguh kalau digunakan untuk perhatian suami terhadap Isteri, perlindungan, cinta kasih dan pemeliharaan yang nyata dan praktis.
            Dengan kata lain akhirnya penulis dapat menyimpulkan, agar rumah tangga itu dapat bertahan sampai kesudahannya. Para suami harus menyadari bahwa tanggung jawab itu tidak hanya memenuhi kebutuhan Isteri dan anak sebatas materi saja, tetapi juga harus bertanggung jawab terhadap kebutuhan emosi si Isteri yakni dikasihi dengan kasih agape (Kasih Allah yang berkorban dan tanpa syarat yang terus menerus) disamping kasih eros.

3. Hubungan Suami Dengan Isteri (Ef. 5:31-32)
31.        ντ τοτου καταλεψει νθρωπος τν πατρα ατο κα τν μητρα κα προσκολληθσεται πρς τν γυνακα ατο, κα σονται ο δο ες σρκα μαν.
32.                τ μυστριον τοτο μγα στν, γ δ λγω ες Χριστν κα ες τν κκλησαν.
33.                πλν κα μες ο καθ να καστος τν αυτο γυνακα οτως γαπτω ς αυτν, δ γυν να φοβται τν νδρα.[55]

Begitulah Kristus memelihara gereja. Ayat 31-32 “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan Ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan Isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia itu besar tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat”.
Ada tiga aspek dalam pernikahan berdasarkan ayat di atas yakni :
  • Meninggalkan Ayah dan Ibunya
  • Bersatu (berdampingan) dengan Isterinya
  • Keduanya menjadi satu daging
            Banyak suami Isteri tidak memahami arti dari aspek pernikahan ini yakni: “menjadi satu daging” sehingga ketidak pahaman akan makna yang disebut di atas merupakan penyebab akan keretakan/percekcokan, bahkan penyebab hancurnya suatu rumah tangga.
            Ef.5:31 adalah merupakan kutipan dari Kej 2:24 oleh rasul Paulus. Yang akan penulis bahas disini adalah Ef 5:31 yakni kata “menjadi satu daging” =  είϚ σάρκα μίαν (eis sarka mian). Analisis kata ini (είϚ = eis) adalah kata konjungsi (kata depan) = seperti, dalam. Sarka berasal dari kata sarkos yakni kata benda, artinya daging (tubuh)..1adi sarka itu lebih luas bukan saja mengarah kesatu pribadi (tubuh) saja, tetapi mencakup dua aspek tubuh (fisik) dan jiwa (psikis).
            Mono adalah kata bilangan yakni satu. Kata ini secara literal : “dalam satu daging (tubuh) yang berhubungan dengan jiwa”. Dan analisis tersebut, penulis memaparkan sebagai berikut: “sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan Isterinya, sehingga keduanya itu dalam satu daging (tubuh) yang berhubungan dengan jiwa (psikis)”.
            Persetubuhan menuntut keterlibatan total dan merupakan suatu penyerahan total yang mencakup seluruh kepribadian seseorang. Artinya manusia sebagai ciptaan moral dengan nilai kesetiaan dan tanggung-jawab sebagai nilai utama justru membutuhkan hubungan yang bertanggung-jawab dan setia.
            Jadi penulis simpulkan “di dalam satu daging yang menyangkut jiwa” adalah melibatkan dua pribadi tadi dalam satu daging (persetubuhan) dan dalam emosi. Artinya suami Isteri dapat sating memahami. Apa yang dirasakan suami, dirasakan Isteri baik dalam sutra maupun duka. Dengan kata lain mereka seperasaan dan sepenanggungan.
            Disisi lain menjadi satu daging menunjukkan bahwa ikatan antara suami dan Isteri lebih besar dari ikatan antara orang tua dan anak, seperti dalam pendapat berikut ini : dalam keluarga yang pertama, hubungan antara suami dan Isteri, kedua suami Isteri dan anak. Menjelaskan realisasi dari “menjadi satu daging menyangkut jiwa”, dalam konkritnya.
            Hidup bijaksana dengan Isteri mengijinkan suami untuk memaksa Isterinya. Ia akan memperhatikan dengan seksama hari-hari dalam sirklus Isterinya yang tidak memungkinkan persekutuan jasmani (persetubuhan) lebih-lebih dalam bulan-bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Dan banyak contoh yang merealisasikan tentang kelemahan dan kekurangan suami maupun Isteri. Dalam hal ini suami maupun Isteri harus menerima segala kekurangan bahkan kelemahan Isteri dengan baik bukan malah bahan ejekan dengan orang lain, maupun dengan keluarganya.
            Demikian juga untuk kelakuan lemah yang dimiliki oleh suami Isteri jangan sekali-kali marah-marah berkepanjangan serta membenci suami serta menuntut banyak perubahan suami. Isteri harus mengambil langkah bijaksana. Tindakan yang harus dilakukan adalah pertama-tama, datang menyerahkan perlakuan buruk suami kepada Tuhan Yesus setiap hari. Kedua, Isteri banyak mengoreksi diri dan berdiam diri (menguasai diri), atau dengan kata lain jadi teladan dalam menenangkan suami. Jangan menjauhi atau memusuhi suami. Isteri harus membicarakan perlakuan buruk suami secara empat mata dari hati kehati. Menjelaskan apa pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan terhadap ekonomi mereka. Isteri harus tegas meminta solusi atas masalah suami tersebut kepada suami sendiri. Jika belum berhasil Isteri harus mengkonsultasikan masalah ini kepada penasehat/konselor pernikahan yang kristen.
            Apabila kiat-kiat di atas dilakukan, suami pasti berubah dan keadaan rumah tangga semakin sehat. Dalam Ef 5:32 sebagai ayat lanjutan dikatakan: “Rahasia itu besar tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat”. Menjadi satu daging (dalam satu daging yang berhubungan dengan jiwa) adalah merupakan rahasia besar. Disini bukan saja berbicara tentang pemikahan (persetubuhan), tetapi lebih dari itu, yakni tentang hubungan Kristus dengan jemaat.
            Yang ingin kita bahas disini adalah kata “hubungan Kristus dengan jemaat” = είϚ Xριστν καί είϚ τν κκλησίαν (eis Kriston kai eis ten eksklesian). Analisis kata ini adalah : eis adalah kata konjungsi (kata depan) seperti di dalam. Kriston adalah akusatif, tunggal = di dalam Kristus. Ten eksklesian adalah akusatif, tunggal = kepada gereja secara menyeluruh. Kata ini secara tertulis, “di dalam Kristus kepada gereja secara menyeluruh”. Dari analisis tersebut penulis memaparkan “rahasia ini besar tetapi yang saya maksudkan ialah di dalam Kristus kepada Gereja secara menyeluruh”.
            Dalam Alkitab telah dituliskan bahwa persekutuan antara Kristus dengan Gereja seperti suatu perkawinan. Karena hari-hari perkawinan Anak Domba telah tiba, pengantin-Nya telah siap sedia (Why 21:2). Gereja sebagai gambaran perkawinan tidak terlepas dari krisis (gereja) ada kalanya merupakan Isteri yang sulit. Gereja tidak berterima kasih, tidak patuh, tidak setia kepada Kristus sebagai suaminya. Gereja menolak untuk tunduk kepada-Nya. Contohnya dapat kita lihat dalam Gereja Laodikia (Why 3:16). Disini kita lihat walaupun Kristus tidak segan-segan mengatakan yang tegas kepada Gereja (tanda disiplin), tetapi kenyataannya Kristus tidak pernah berbuat salah (mengecewakan) Isteri-Nya. Dalam Ef 5:25 Kristus selalu mengampuni, menguduskan, membersihkan dan menyucikan Isteri-Nya (gereja), tanpa noda, tanpa cacat cela. Tak pernah terjadi perceraian antara Kristus dan Gereja-Nya. Kristus menyerahkan diri-Nya untuk Isteri-Nya. Untuk Isteri yang tak patuh dan sukar, Dia menyerahkan diri-Nya.
            Kristus turut juga merasakan segala-galanya bersama Gereja-Nya secara menyeluruh dalam bentuk penderitaan dan secara nyata dalam fisik menjadi bagian dari kita dalam perjamuan Kudus. Ketakutan kita menjadi ketakutan-Nya. Penderitaan kita menjadi penderitaan-Nya. Hukuman kita menjadi hukuman-Nya. Kematian kita menjadi kematian-Nya. Dia menjadi satu daging dengan kita dalam arti yang sangat nyata, secara fisik menjadi bagian dari kita, di dalam perjamuan kudus.
            Jadi penulis menyimpulkan disini agar bahtera rumah tangga itu tidak hancur, suami Isteri harus memahami, tugas dan tanggung jawab suami Isteri yakni: yang pertama Isteri harus tunduk, hormat secara terus menerus untuk diri sendiri kepada suami seperti kepada Tuhan (Kristus) yang mengasihi jemaat dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan dosa-dosa manusia (jemaat). Tunduk, hormat, patuh, takluk tanpa dibatasi waktu, tetapi sebatas Isteri terikat kepada suami. Yang kedua suami harus mulai mengasihi Isteri terus menerus dengan kasih ilahi (agape = kasih yang memberi, berkorban dan tanpa menuntut halas), seperti Kristus telah mengasihi jemaat dan menyerahkan nyawanya bagi jemaat. Yang ketiga : suami Isteri harus memahami bahwa tujuan Allah mempersatukan mereka adalah disamping untuk memperoleh keturunan (persetubuhan), juga menyatu padukan jiwa (perasaan dan kehendak) yang berbeda, dalam suka dan duka dengan mampu dimengerti dan disutujui. Dan yang terpenting dalam perkawinan itu adalah menjadi satu daging, hubungan suami Isteri itu tidak boleh lepas dari patronnya. Hubungan Kristus (kepala) dan Gereja (tubuh) secara menyeluruh.

4. Kewajiban  Bagi Suami-Isteri (Ef 5:33)
            “Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku : kasihilah Isterimu seperti dirimu sendiri dan Isteri hendaklah menghormati suaminya”
            Hal ini kasih yang dimiliki suami adalah kasih Agape yaitu rela berkorban tanpa pengharapan halasan. Sebagaimana Kristus telah berkorban nyawa bagi jemaatnya begitu pula suami harus rela mengorbankan segalanya termasuk nyawanya sendiri bagi kehidupan dan keselamatan Isterinya. Berkorban bagi Isteri berarti suami menghentikan sesuatu yang diingininya demi memenuhi sesuatu yang diperlukan Isterinya. Lebih tegas lagi dikatakan oleh Gangga Eltho :
Mengasihi Isteri diwujudkan dengan kesabaran dan kelemahiembutan, ia tidak pernah marah, tidak berlaku kasar, tidak berbicara menusuk hati, tidak melakukan yang tidak sopan bagi Isteri dan tidak mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Suami yang mengasihi Isterinya selalu mengampuni Isterinya. Ia tidak menyimpan kesalahannya. Suami yang bijaksana, mengasihi Isteri dengan adil tanpa syarat. Isteri ingin dikasihi, lebih dari orang tuanya, lebih dad anak-anaknya dan lebih Bari pekerjaannya sendiri. Tanggung jawab suami selain mengasihi Isterinya, ia juga harus mengasuhnya dan merawatnya (Ef.5:29). Mengasihi Isteri berarti menyediakan apa yang diperlukan untuk pertumbuhan rohani dan jasmani Isterinya. Itu sebabnya Isteri perlu dibimbing dan diarahkan agar dia dapat berfungsi sebagai penolong. Merawat Isteri berarti memelihara dan memperlakukan Isteri dengan lemah lembut, karena Isteri ingin selalu diperhatikan, dibela dan dilindungi.[56]

            Keluarga yang berbahagia dan harmonis sangat dipengaruhi oleh tingkah laku para suami ditengah-tengah keluarga. Apabila suami tidak mengasihi Isterinya, maka Isteripun tidak dapat menghormati suaminya akibatnya, suami sering menyalahkan Isteri dan Isteri selalu kurang puas terhadap suaminya. Akhirnya rumah tangga itu menjadi dingin. Untuk menanggulangi rumah tangga ini tidak mengalami kehancuran, seorang suami harus terus belajar untuk menghargai Isterinya.
            Sesuai dengan pendapat di atas maka suami harus mengasihi Isteri dengan kelemah lembutan, tidak berlaku kasar, tidak berbicara menusuk hati, tidak mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, mengampuni Isterinya apabila berbuat salah juga mengarahkan atau membimbing kerohanian Isterinya. Apabila sesuai pendapat di atas dilakukan maka akan kita temuakan dalam rumah tangga itu kebahagiaan.
            Hubungan suami Isteri dan berjalan harmonis (Bahagia, Sukacita, Sejahtera) karena ada sesuatu yang bersifat saling mengasihi diantara suami dan Isteri. Karena firman Tuhan berkata kasihilah Isterimu seperti dirimu sendiri dan hendaklah Isteri menghormati suaminya. Menurut Ch. Abineno :
Kepada suami ia katakan, kasihilah (Yunani Agapate = kasihilah terus menerus) Isterimu sama seperti dirimu sendiri. Dan kepada Isteri hendaklah engkau menghormati ( sebenarnya, takut kepada) suamimu. Sekali lagi dari suami Paulus menuntut kasih dan dari Isteri penghormatan/ketakutan sebagai ganti ketaatan. Tetapi penghormatan/ ketakutan ini bukanlah penghormatan/ketakutan dari seorang budak ia adalah penghormatan/ ketakutan dari seorang kekasih yang lahir dari penghormatan/ketakutan kepada kristus. Keduanya ini yaitu kasih dan penghormatan merupakan dasar perkawinan merek sebagai gambaran dan hubungan antara Kristus dan jemaat[57]

            Kasih merupakan dasar dari hubungan suami dan Isteri. Hal itu jelas kita lihat pada kiasan Paulus dalam ayat 23 : karena suami adalah kepala Isteri sama seperti Kristus adalah kepala tubuh. Dengan gambaran ini bukan saja mengatakan bahwa Isteri harus tunduk kepada suaminya tetapi juga bahwa suami harus menjadi kepala Isteri dengan cara yang sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.
            Sisi lain yang perlu diperhatikan di dalam perkawinan adalah :" suami Isteri harus memiliki satu kepercayaan yakni "Iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru slamat mereka, (2Kor 6:14: Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap). Pernikahan itu disebut pernikahan kristen jika suami Isteri telah menerima Tuhan Yesus sebagai juru Slamatnya. Ini juga berarti kedua pasangan harus mentaati perintah Allah dan mengandalkan Tuhan sepenuhnya di dalam hidup mereka. Menurut Joyce coon tentang perkawinan ini adalah :
Suami Isteri itu harus kedua-duanya percaya kepada Kristus. Allah tidak menginginkan orang yang percaya menikah dengan orang yang tidak percaya, karena apabila dua orang itu menikah mereka akan menjadi satu. Allah tidak membenarkan akan hal itu sebab sama halnya dengan memasang kuk pada seekor sapi dan seekor keledai bersama-sama untuk membajak sawah[58].

            Dapat dikatakan bahwa : seorang pria yang menikah dengan seorang wanita yang bukan satu iman tidak ada persaamaannya. Mereka sangat bertolak belakang baik dalam hal berprinsip cara pikir dan dalam mengambil keputusan dan lain-lain. Pernikahan yang seperti ini juga sering sekali timbul banyak masalah dan tidak ada jalan keluarnya, sebab suami menganggap pendapatnya yang benar, demikian juga sebaliknya si Isteri menganggap pendapatnyalah yang benar. Tidak ada diantara mereka yang mengalah. Tidak jarang pasangan yang seperti ini akan memilih untuk berpisah, karena tidak ada kecocokan lagi diantara mereka. Tuhan memerintahkan kepada setiap orang percaya agar memilih teman hidup yang sepadan dengan mereka.
            Dengan adanya Kristus di dalam hidup mereka maka dialah yang akan mengendalikan hati mereka dan pikirannya sehingga kedua pasangan ini akan menyadari bahwa mereka hidup bukan untuk dirinya sendiri tetap juga untuk Tuhan dan orang lain. Suami Isteri itu akan saling menghormati dan mengasihi sebab mereka mengganggab tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Pertolongan Allah akan nyata di dalam hidup kita jika kita berserah kepada-Nya dan yakin Dia pasti akan memberikan jalan keluar, sebesar apapun yang menjadi masalah di dalam rumah tangga Tuhan sanggup untuk menyelesaikannya

2.2.      Kebahagiaan Keluarga 
2.2.1.  Pengertian Kebahagian Keluarga
            Menurut Indrawan WS dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini mengatakan “Bahagia artinya bahagia, hati senang, beruntung”.[59] jadi kebahagiaan adalah orang yang mempunyai keberuntungan dan yang memiliki hati yang senang.
            Kebahagian yang dimiliki keluarga kristen akan terpancar dalam kehidupannya sehari-hari. Kehidupan rumah tangga itu tidak bisa dibohongi dalam bermasyarakat apabila mereka bahagia atau tidak. Karena akan terlihat dengan jelas dari hubungan suami Isteri yang dijalani dalam keluarga itu. Untuk lebih jelasnya maka dapat kita lihat beberapa hal yang dapat mempengaruhi kebahagiaan keluarga kristen itu diantaranya:
            Sungguh menyedahkan bila pasangan suami-Isteri menempuh kehidupan berumah tangga tetapi mereka tidak sepadan dengan pasangannya. Maka Alkitab menerangkan penolong yang sepadan sebagai seorang yang menemuinya berhadap-hadapan muka maka dikatakan yang sepadan ini adalah mitra. Jadi suami mitranya adalah Isteri maka dia harus benar-benar mencari yang sama-sama takut akan Tuhan. Seperti Dick Mills mengatakan bahwa “Allah memberikan adam pasangan yang sepadan atau diri yang lain, seorang yang akan menjadi mitra imbangan seksualnya, seorang yang akan menghadapinya dan melihat kedalam matanya”[60].
            Disinilah jelas bahwa pasangan yang sepadan itu merupakan mitra kerjanya bukan menjadi budaknya tetapi menjadi penolongnya. Keluarga kristen itu akan sadar bahwa mereka adalah pasangan yang sepadan yang dipersatukan Tuhan karena mereka sama-sama mempunyai Tuhan yang sama yaitu Yesus Kristus. Bila anda belum menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamatmu hendaklah cepat-cepat mengaku dosa dam menyerahkan diri kepada-Nya. Seperti ada perkataan : Kristus adalah kepala rumah ini, tamu yang tidak kelihatan pada setiap waktu makan, pendengar yang diam pada setiap percakapan jadi benarlah seperti yang dikatakan oleh Tim Lahaye bahwa: “Kristus adalah kunci terbaik untuk berbahagia di dalam pernikahan”[61] maka kalau Kristus menjadi kepala dalam keluarga itu maka keluarga itu kan bahagia karena kristuslah yang menjadi kunci utama bagi keluarga.

 2.2.2. Model Keluarga Kristen Yang bahagia
            Secara umum dapat kita lihat sepuluh hukum pernikahan bahagia menurut Pdt. Dr. P. Octavianus ialah :
a.     Tidak marah pada waktu yang sama
b.     Tidak berteriak satu kepada yang lain
c.      Coba mengalah untuk menang
d.     Menegur dengan kasih
e.     Lupakan kesalahan dimasa lampau
f.       Boleh lalaikan yang lain tapi jangan dia
g.     Jangan menyimpan amarah sampai matahari terbenam
h.     Pujilah dia
i.       Bersedia mengakui kesalahan
j.       Dalam pertengkaran yang paling banyak bicara dialah yang salah.[62]

            Jadi dalam keluarga kalau dilakukan sepuluh yang tertera di atas maka keluarga kita akan menjadi keluarga bahagia dan kita menjadi orang yang sabar seperti yang dikatakan dalam Amsal 16:32 “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut kota”. Hal inilah yang perlu kita laksanakan dalam keluarga supaya dalam keluarga itu tumbuh damai sejahtera, seperti yang diperbuat Yesus dalam rumah tangga Kristen adalah memberikan damai sejahtera.
            Dan istilah damai sejahtera ini dilanjutkan oleh Rasul Paulus dalam Kolose 3:15 “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh”. Jadi istilah ini tidak bisa dilukiskan hanya dengan kata-kata saja melainkan dirasakan dan dialami maka keluarga itu akan dipenuhi kebahagiaan. Dan menurut K.A.M. Jusuf Roni ada beberapa hal yang menjadi kewajiban suami Isteri dalam perkawinan untuk menuju keluarga bahagia/harmonis diantaranyaKewajiban suami :
  1. Mengasihi Isteri
  2. Bijaksana dan hormat terhadap Isteri
  3. Menghibur Isteri
Kewajiban Isteri :
a.    Mengasihi suami
b.    Tunduk kepada Suami
c.    harus merasa terikat kepada suami[63]

            Dan apabila para suami dan Isteri melakukan kewajibannya ini dengan sungguh-sungguh kebahagian dan keharmonisan rumah tangga pasti di alami jika anada bersedia menjalankan kewajiban anda masing-rasing sebagaimana mestinya. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat beberapa ciri-ciri keluarga kristen yang bahagia diantaranya :

2.2.2.1. Selalu Menguduskan Hari Minggu
            Menguduskan hari minggu artinya suami-Isteri dan anak-anak harus pergi beribadah kegedung gereja setia hari minggu, bersekutu bersama jemaat untuk beribadah kepada Tuhan. Mengikuti kebaktian minggu di gereja adalah bukti ketaatan kita kepada Firman keempat (Kel 20:8-11). Jangan kiranya sibapak selalu absen kegereja tetapi si ibu dan anak-anak selalu tetap setia kegereja.
            Orang tua pelu menyadari bahwa mereka adalah guru utama dan pertama anak-anak juga dalam kesetiaan bersekutu dengan Tuhan dalam kebaktian minggu gereja. Dan orang kristen yang baik akan bersama-sama pergi ke gereja untuk bersekutu dengan Allah itulah menjadi ciri orang kristen yang bahagia.

2.2.2.2. Bersukacita
            Sukacita adalah buah Roh (Gal 5:22). Sukacita orang Kristen bukan merupakan perasaan dangkal yang seperti halnya termometer, pasang surut dengan suasana yang berubah-ubah dalam rumah tangga. Sebaliknya, sukacita Kristen adalah pengalaman yang ditandai dengan perasaan puas dan penuh kepercayaan yang dalam, apapun keadaan yang harus kita hadapi disekeliling kita. Warren mengemukakan bahwa : “Sukacita Kristen tidak pasang surut walaupun menghadapi berbagai keadaan, melainkan menentukan temperatur rohani dari keadaan-keadaan itu”[64]
            Paulus juga menekankan bersukacita itu seperti bermabuk-mabukan tapi bukan mabuk oleh anggur tapi karena oleh Roh Kudus seperti yang dialami oleh jemaat mula-mula pada hari Pentakosta (Kis. 2:13-15). Maka hal ini perlu kita terapkan dalam hidup kita selalu bersukacita karena hidup kita sudah dikuasai oleh Allah. Dimana kita telah memiliki Roh Allah dan Roh Allah adalah segala-galanya bagi kita.

2.2.2.3. Penuh Pengucapan Syukur
            Seseorang mendefenisikan rumah tangga adalah sebagai tempat dimana kita diperlakukan paling baik dan tempat kita paling banyak mengeluh. Sebagai keluarga kristen yang baik hendaknya kita selalu mengucap syukur akan segala hal yang kita miliki dan peroleh. Seperti yang dikemukakan oleh Warren yaitu : “Masing-masing mengucap syukur kepada Allah atas pasangannya merupakan rahasia keluarga bahagia, dan Roh Kuduslah yang memberi kita karunia untuk mengucap syukur”[65].
            Hati yang mengucap syukur dapat membantu mengembangkan keharmonisan di dalam rumah tangga. Orang mengira bahwa dunia berhutang kepadanya sehingga harus memberikan penghidupan kepadanya adalah orang yang tidak pernah mengucap syukur.
            Hati yang penuh pengucapan syukur biasanya rendah hati, hati yang dengan sukacita dan mengakui bahwa setiap dari pemberian Tuhan itu adalah baik. Seperti ada tertulis "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu"(lTes 5:18). Inilah yang selalu ditunjukkan orang Kristen yang bahagia.
2.2.2.4.  Merendahkan Diri Seorang Kepada Yang Lain
            Hal merendahkan diri seorang kepada yang lain tidak ada hubungannya dengan susunan otoritas, melaikan mengatur kerjanya otoritas. Seperti halnya pada waktu Yesus membasuh kaki murid, Ia mengajarkan kepada mereka bahwa orang yang terbesar adalah orang yang menggunakan otoritasnya untuk membangun orang lain bukan menjatuhkan orang lain.Suami Isteri kristen harus berdoa dan mempelajari Alkitab dengan bersama­sama sehingga mereka dapat mengerti kehendak Allah. Makanya suami Isteri harus memiliki sikap seperti yang terdapat di Efesus 5:22-33 itu sehingga suami Isteri merendahkan diri seorang dengan yang lain. Dimana hubungan suami Isteri itu adalah menjadi gambaran hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Inilah menjadi ciri yang harus ditunjukkan oleh keluarga kristen.
2.2.3.        Membangun Keluarga Kristen Yang Bahagia
2.2.3.1.   Dengan Tunduk
            Seorang Isteri harus tunduk kepada suami ini merupakan Perintah Tuhan, wanita kristen harus menjadikan suaminya kepada Rumah Tangga, menurut Tim LaHaye mengatakan bahwa “seorang Isteri kristen harus tunduk kepada suami, tetapi banyak penolakan yang dilakukan Isteri kristen untuk menerima sikap tunduk mereka menganggap mereka akan diperintah-perintah oleh suaminya”[66].
Dikatakan lagi “tunduk bukan berarti bahwa seorang wanita tidak dapat memberikan pendapatnya dengan menyatakan kebenaran dan kenyataannya bahwa semakin Isteri tunduk semakin suaminya memimpin”[67]

2.2.3.2.       Dengan Saling Menghormati
Isteri juga harus menghormati suami, Isteri seringkali lebih menghormati laki­laki atau suami orang lain dari pada suaminya sendiri, jadi sebaiknya Isteri harus lebih menghormati suaminya. Apabila dia lebih menghormati suaminya maka kebahagiaan dirumah itu akan terlihat dan apabila mereka saling menghormati seperti yang dikatakan Octavianus “harus saling menghormati dalam pembangunan rumah tangga bahagia Dalam 1Petrus 3:7 "demikian juga kamu hai suami-suami hiduplah bijaksana dengan Isterimu sebagai kaum lemah. Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia yaitu kehidupan supaya doamu jangan terhalang” [68]

2.2.3.3.       Dengan Mengasihi
            Bukan hanya Isteri yang mempunyai sikap dalam Efesus ini tetapi suami juga dikatakan “hai suami Kasihilah iatrimu...” kasih adalah salah satu dari pengalaman– pengalaman manusia yang paling umum dan salah satu yang paling sulit didefinisikan. Dalam Efesus ini dikatakan kasih seorang suami terhadap Isterinya harus seperti dia mengasihi dirinya dan jugs digambarkan bahwa sebagaimana kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan Diri-Nya baginya.
Menurut Tim LaHave ialah :
Kasih itu sangat besar dan baik hati, tidak pernah cemburu, in hati, tidak pernah sombong, tidak tinggi hati, tidak angkuh, tidak mementingkan diri sendiri, tidak kasar. Kasih tidak pemarah, tidak mudah tersinggung, melainkan kasih itu baik hati maka semakin suami mengasihi Isteri maka Isteri akan semakin tunduk dan taat dan makin menghormati suami[69].
            Jadi sikap yang ditunjukkan suami Isteri ini yaitu Kasih, Tunduk, Hormat atau saling menghormati, apabila dilakukan ini dalam rumah tangga maka keluarga itu akan bahagia terkhusus bagi keluarga kristen yang akan memancarkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

2.2.3.4.       Hayati dan laksanakan kehidupan “dwi-tunggal”
            Laki-laki dan perempuan yang dipersatukan Allah dalam pernikahan bukan lagi dua tetapi satu (Mat 19:6; Mark 10:9). Kini keduanya menjadi “dwi-tunggal” (dua dalam kesatuan, satu dalam keduaan). Ibarat dua lembar kertas yang dipersatukan oleh daya lem yang kuat, demikianlah hidup mereka berdua dipersatukan dalam pernikahan itu oleh pemberkatan Allah.
            Dwi-tunggal berarti Isteri di dalam suami, suami di dalam Isteri. Kemanapun masing-masing pergi, ia membawa pasangannya itu di dalam dirinya, dimanapun ia tinggal untuk sementara waktu maka pasangannya ia bawa dalam dirinya. Merasakan bahwa pasangannya berada di dalam dia, maka dia akan berlaku setia dan tak suka menghianati kesatuan mereka, maka dia akan dimotivasi untuk menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya demi terpenuhinya kebutuhan keluarga sehari-hari. Mengapa terjadi perselingkuhan oleh suami dengan wanita lain? tentu hal itu karena si suami tak menerima keberadaan Isterinya di dalam dia, jadi tidak dwi-tunggal.
            Dan disinilah hendaknya kita menghayati dan mengamalkan arti dwi-tunggal demi kebahagian keluarga kita. Seperti Dick Mills mengemukakan bahwa:
Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka akan dapat menanggung sama-sama beban yang dihadapinya. Karena kalau mereka jatuh yang seorang dapat menghibur yang lainnya, dimana Allah bermaksud agar suami Isteri menemukan suatu dimensi kelengkapan besar di dalam diri mereka[70]
            Disini jelaslah terlihat bahwa berdua itu dapat meringankan beban tapi berdua disini dimaksutkan bahwa mereka hanya berdua jumlah tetapi satu kesatuan makanya sering suami Isteri itu dikatakan dwi-tunggal/ dua tetapi satu.

2.2.3.5.       Hidup Sebagai Mitra Sederajat
            Di dalam Allah lain-lain dan perempuan adalah sederajat. Allah menciptakan manusia (laki-laki dan Perempuan) segambar dan serupa dengan Allah (kej 1:26) maka sesuai dengan pendapat Hedra Rey arti segambar dan serupa ialah: ”Allah adalah patron dasar manusia, dan manusia mencerminkan Allah. Manusia seperti Allah tetapi bukan Allah dan manusia harus mewakili Allah”[71]. Dari pendapat di atas jelaslah bahwa manusia itu adalah sederajat tidak ada perbedaan derajat karena mereka diciptakan oleh Allah, walaupun ada perbedaan itu hanya perbedaan dan berpikir atau watak manusia. Dalam pemahaman ini, keduanya harus menerima perbedaan untuk saling melengkapi, menjalankan fungsi dan tugas yang berlainan untuk kepentingan bersama.
            Hubungan keduanya bukanlah hubungan ibarat atasan dengan bawahan, tetapi hubungan sebagai mitra. Suami bukan majikan sementara Isteri menjadi buruh kasar, tetapi mereka sederajat dalam perbedaan yang saling melengkapi dan membutuhkan. Pokoknya guna mencari atau menumbuhkan kebahagiaan suami Isteri harus hidup sebagai mitra sederajat.

2.2.3.6.        Keluargamu adalah Keluargaku
            Suami dan Isteri berasal dari keluarga yang berbeda. Keduanya harus bersyukur kepada Tuhan yang menciptakan pasangannya melalui ayah – ibunya masing-masing. Sebagai mana suami menerima, mencintai, menghargai Isterinya dan sebaliknya, demikian pula mereka harus lakukan itu terhadap keluarga pasangan. Artinya, suami harus dengan tulus menerima, menyintai dan menghargai pihak mertuanya sama seperti dia melakukan hal yang sama terhadap keluarganya sendiri. Isteri juga begitu terhadap pihak suaminya. R. Paul Stevens mengemukakan “Kemampuan anda untuk mencintai kedua orang tua anda merupakan ukuran cinta yang dapat anda berikan kepada suami atau Isteri anda dan keluarganya”[72].
            Dari penjelasan di atas jelaslah kalau kita dapat mencintai orang tua kita maka kitapun harus mencintai keluarga suami kita mustahil kita bisa mencintai orang tua pasangan kita sedangkan orang tua kitapun tidak kita cintai. Apabila berpihak kepada keluarganya sendiri akan jelek dampaknya, sebab hal itu menunjukkan keterpisahan sikap dan sifat hidup. Pada hal ke dwi-tunggalan antara suami dan Isteri patut pula dinampakkan melalui pengakuan dan perbuatan. Keluargamu adalah keluargaku, engkau adalah bagian keluargaku, aku adalah bagian keluargamu. Alangkah baiknya jika prinsip hidup ini dijalankan dengan murni dan konsekuensinya oleh pasangan suami Isteri itu.

2.2.3.7.       Jangan Marah Pada Saat Yang Sama
            Latar belakang kepribadian masing-masing akan boleh jadi menyebabkan kemarahan suami terhadap Isteri misalnya, hal mana dipicu oleh perbuatan Isteri yang kurang proporsional. Marah boleh saja asal sifatnya bukan untuk melampiaskan emosi negatif melainkan tindakan mendidik demi perbaikan suasana. Ribut sih boleh asal ribut itu membuat semakin rukun (bdg Efesus 4:26). Yang paling pokok “jangan marah pada waktu yang sama” agar tidak memancing emosi negatif “orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut Kota” (Amsal 16:32). Pdt. Octavianus mengemukakan:
Dalam pernikahan kita harus berjalan saling mengampuni. Penyelesaian satu sama lain membutuhkan waktu karena itu kita harus membuat perjanjian" bila salah seorang dari kami marah, yang lain harus berdiam diri janji ini dapat menolong kita untuk dapat bergantung kepada anugrah Tuhan Yesus.[73]
            Dalam hal inilah, kita sebagai suami Isteri harus dapat menahan diri supaya jangan diantara kita sama-sama marah tetapi kita dapat menahan emosi kita sesuai dengan pendapat di atas maka kita akan mendapat anugrah dari Tuhan Yesus Kristus.
            Pada saat marah janganlah yang satu merendahkan yang lain sebab bisa saja akan memperdalam persoalan oleh karena sakit hati. Hendaklah ide untuk memperbaiki demi masa depan yang baik adalah tujuan dan kemarahan yang tidak boleh harus terjadi. Yang dimarahi hendaklah ikut aktif koreksi untuk perubahan, jangan membandel dalam kesalahan tetapi akui kesalahan itu untuk tidak mengulanginya kedepan (bdg Luk 17:3-4)

2.2.3.8.       Sediakan Waktu Untuk Santai

            Santai adalah suasana yang dinikmati bersama. Membagi waktu untuk bersantai bersama adalah suatu kesempatan yang indah. Disitu banyak ide-ide dan percakapan ringan yang saling mengisi, dapat dilakukan permupakatan untuk sesuatu rencana, saling memberi masukan tentang cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan ekonomi keluarga, dan saling ikut bersenda gurau positip. Dalam kesempatan yang amat sedikitpun, waktu untuk santai bersama perlu disisihkan. Octavianus mengemukakan bahwa:
Pada waktu bersantai kita dapat mengemukakan pendapat kita pada pasangan kita walaupun itu hal-hal yang menyakitkan atau nampaknya menghina namun cara demikian menghindarkan perasaan menghina, meskipun salah tapi dalam pembungkusan kasih maka pasangan kita tidak akan tersinggung[74].
            Pada waktu santai kita dapat mengemukakan pendapat kita atau sakit hati kita kepada pasangan dengan terus terang karena pada waktu seperti itulah kita dapat berbicara dengan tenang dan mencari jalan keluarnya, maka pasangan kitapun tidak akan tersinggung.
            Keluarga yang baik adalah keluarga yang menyisihkan waktu santai bersama misalnya dirumah. Terserah pada waktu pagi, siang, sore, ataupun malam kapan saja dianggap baik. Apalagi ada hari libur itu dapat dimamfaatkan. Berkumpul bersantai bersama adalah cara terbaik untuk membina kehannonisan dan kebahagian keluarga. Tuhan telah beri waktu buat kita, maka pakai itu dengan sebaik-baiknya dalam suasana kasih di dalam Allah (bdg Pengkotbah. 9:9).  Allah telah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan karena itu dialah yang menghendaki menetapkan, memberkati dan memelihara pernikahan dan lebih menarik lagi bahwa laki-laki dan perempuan telah diciptakan dari satu daging itu berarti laki-laki dan perempuan hanya belahan saja dan melalui pernikahan belahan itu menjadi satu kesatuan yang utuh dan sama derajatnya. Harus disadari bahwa perkawinan terjadi bukan karena kehendak manusia melainkan atas kehendak Tuhan. Perkawinan itu mempunyai tujuan yang amat baik dan harus melaksanakan perintah Tulin dan yang paling utama harus melaksanakan perintah itu menjadi suatu sikap suami isteri dalam kehidupan keluarganya, dimana sikap itu dapat kita lihat dalam Efesus 5:22-33, apabila suami isteri melakukan sikap ini maka akan mendapat kebahagian dalam keluarganya.
            Kebahagian adalah tujuan akhir setiap pernikahan dimana apabila membangun/membina suatu pernikahan maka akan terbayang dibenaknya akan mendapat kebahagiaan dan sikap suami isteri yang melakukan saling menghormati, tunduk, kasih akan mencerminkan kebahagian yang sesungguhnya, ini yang menjadi dasar keluarga Kristen.
[1]Andreas Bambang Subagyo, Pengantar Research Kualitatif dan Kuntitatif   (Bandung, Kalam Hidup), 190
[2]   Wjs.Poerwadarminta,Kamus Besar Bahasa Indonesis, (Jakarta: Halai Pustaka, 2006), hal.1120
[2] Soenoe Rahardjo, Diktat Metode Penelitian Lanjutan, (Medan, STTBM,Tahun 2010),l 6
[3]   Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Halai Pustaka 2002), hal. 105
[4]   Depertemen Agama RI, UU Perkawinan Dengan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta : PT.Pradya Paramita, 1982), hal. 6
[5]3 Jhon Stoot, Isu-isu Glohal, ( Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih 2000 ), hal. 369
[6]   E.G.Homrighausen, dkk, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005), hal. 128
[7]  Indrawan, Kamus bahasa Indonesia, (Lintas Media Jombang 1999), hal. 21
[8] Andreas Bambang Subagyo, Pengantar Research Kualitatif dan Kuntitatif   (Bandung, Kalam Hidup ), 191
[9] Indrawan WS , Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Jombang: Lintas Media, 1996), 380
[10] Ibid, 509
[11] AlkitabEdisi NLO  ( Jakarta, Lembaga Alkitab Indonesia, 2001)236
[12] Kamus Lengkap Bahasa Indonesia , (Surabaya: Kartika)
[13] Yusuf Wibisono, Metode Statistik ( Yogyakarta, UGM PRESS,2005)436
[14] Soenoe Rahardjo, DiktatMetodelogi Penelitian Lanjutan,(Medan, STTBM, 2010)58
[15] Suharsimi Arikunto,Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,(Jakarta, Rineka Cipta) 259
[16] Soenoe Rahardjo, Diktat Metodelogi Penelitian Lanjutan ,( Medan, STTBM,2010) 95
 [21]          Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,                   ( Jakarta : Halai Pustaka 2002 ),105 
[22]Depertemen Agama RI, UUPerkawinan Dengan Peraturan Pelaksanaannya, ( Jakarta : PT.Pradya Paramita,1982 ),6
[23]    K. Wijaya Mukti, Berebut Kerja Berebut Surga, ( Jakarta : yayasan Dharma Pembagunan 2003 ), hal. 105
[24]    Ibid
[25]   Wanda Humble, Persiapan Pernikahan Keluarga Menuju Rumah Tangga Yang Bahagia, (Yogyakarta : STII 1997), hal. 2
[26]  Tutus, Tu'u S.Th, Etika dan pendidikan Seksual, (Bandung: Kalam Hidup 1996),hal. 28
[27] I.Nyoman Arthayasa, Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu, (Surabaya : Paramitha, 2004 ) ,hal. 3
[28] Ibid
[29]   Ibid
[30]   Team Pembinaan Persiapan Keluarga,Membagun Keluarga Kristen, (Yogyakarta, Kamsius,1986), hal. 9
[31]  Cornelis Wowon, Pandangan Sosial Agama Budha, (Jakarta : CV.Nitra Kencana Buana,2004), hal. 104
[32]    A.W.Turnip, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara, ( Medan : Proyek penelitian dan pencatatan Kebudayaan Daerah 1978 ), hal. 27
[33]    Wanda Humble, Opcit, hal. 6
[34]   R. Suhartini C, Cara Mendidi Anak Da/am Keluarga Masa Kini, (Jakarta: Brata Karya Aksara 1986), hal. 19  
[35]Jhonathan A. Trisna, Pernikahan Kristen Suatu Usaha Dalam Kristus, (Bandung : Kalam Hidup 1994), hal. 50 
[36] Jakub Nahuway, Isteri Yang Cakap Melebihi Permata, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1990), hal. 30
[37]Ibid, hal. 34 
[38]Volkhard dan Scheunemann Gerlinde, Hidup sebelum dan sesudah Menikah, (Malang: Yayasan PII 1985) hal. 15  
[39]Naek L. Tobing, Cintakah Anda Sesudah Menikah, (Gramedia, 1998), hal. 72 
[40]Tim dan Baverly Lahaye, Kehidupan Seks Dalam Pernikahan, (Yogyakarta: Andi 1976), hal. 46
[41]R. Suhartini C, Op. cit, hal. 37 
[42] R. Suhartini C, ibid
[43]         Dorothy L. Marx, Itukan Boleh, (Bandung : Kalam Hidup, 1998), hal. 49
[44] Sasangko Sudarjo, Keluarga Masa Kini, (Jakarta:Brata Karya Aksara,1986), hal. 57 
[45]Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Opcit, hal. 753
[46]Joyce Coon, Rencana Allah Bagi Rumah Tangga Kristen, (Bandung:Yayasan Kalam Hidup,1978), hal. 12  
[47] Courtesy of the Greek Orthodox Archdiocese of America
www.goarch.org

[48]J.L. Ch. Abineno, Tafsiran Kitab Efesus, ( Jakarta: BPK-GM, 1992), hal. 53 
[49]D. Scheumenn, Romantika Kehidupan Suami Isteri. (Malang : Gandum Mas, 2005 ) hal.16  
[50]Gangga Elthon,INTIMACY, (Bandung Yayasan Galilea,2001), hal. 26 
[51]Donald C.Stamps, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, (Malang Gandum Mas 1994), hal. 1972
[52] D. Guthrie, MTh, dick, Tafsiran Alkitab Masa Kini, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina kasih 2007), hal. 603 
[53]Gangga Eltho, opcit, hal. 27 
[54]J.L.Ch. Abineno, Op.cit, Ital. 58  
[55] Courtesy of the Greek Orthodox Archdiocese of America
www.goarch.org

[56]Ganggaw Eltho Opcit, hal. 14
[57]J L.Ch. Abineno, Op.cit, hal. 30
[58]Joyce Coon Opcit, hal. 14 
[59]Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesis Masa Kini, (Jombang: Lintas Media 1999), hal. 21  
[60] Dick Mills, Cara Meraih Pernikahan bahagia, (Jakarta: Immanuel,1993), hal. 8
[61] Tim Lahaye, Op.Cit, hal. 131
[62]Pdt Dr. P. Octavianus, Membangun Rumah Tangga Bahagia, ( Malang Gandum Masa, 1986), hal. 31 
[63]K.A.M.Jusuf Roni, Memmbina Keluarga Kristen Bahagia, ( Yogyakarta : Yayasan Andi, 1996 ), hal. 81  
[64]Warren W. Wiersbe, Kaya Didalam Kristus, (Bandung: Kalam Hidup,2001), hal. 130 
[65]Ibid, hal. 132 
[66]Tim LaHaye, Kebahagiaan Pernikahan Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2002), hal.117
[67]Ibid
[68]Pdt. P. Octavianus, Opcit, hal. 69
[69]Tim LaHaye, Opcit, hal. 114
[70]Dick Mills, Cara Meraih Pemikahan Bahagia, (Jakarta : Yayasan Pekabaran Injil, 1993), hal 3  
[71] Hendra Rey, Manusia dan Penciptaan sampai Kekekalan, (Malang: Gandum Mas, 2002), hal 15
[72]R. Paul Stevens, Seni Mempertahankan Pernikahan Bahagia, (Jakarta: Gloria Graffa,2004), hal. 78  
[73]Pdt. P. Octavianus, Membangun Rumah Tangga Bahagia, (Malang: gandum Mas,1986), ha134
[74]Octavianus, ibid, hal 66