BAB
I
PENDAHULUAN
Penelitian ini
berhubungan dengan masalah : kebahagiaan dalam rumah tangga, kebahagiaan dalam rumah
tangga menjadi barang yang sangat langka dalam zaman akhir ini, hal ini
dikarenakan perkembangan zaman yang lebih mengutamakan keegoan daripada
kebersamaan, jadi tidaklah mengherankan jika angka perceraian yang terjadi
cukup tinggi saat ini. Kurangnya peran gereja juga menjadi salah satu pemicu
tingginya angka perceraian, gereja hanya melakukan pekerjaan holistik gereja
dan kurang ingin memberikan pemahaman tentang rumah tangga dalam kekristenan,
khotbah tentang pernikahan hanya di dengar apabila ada pernikahan, paska
pernikahan hal ini menjadi dilupakan, sesungguhnya perjalanan hidup berumah
tangga sama pentingnya dengan hidup berjemaat. Seharusnya gereja mengambil
peran untuk mereduksi efek samping dari kemajuan jaman yang ada. Berdasarkan
pengamatan peneliti dalam beberapa tahun ini, perceraian seringkali disebabkan
oleh kurangnya suami menghargai istri dan mencintai
mereka, kemudian istri merasa sebagai pemegang kendali
dari perjalanan rumah tangga sehingga tidaklah mengherankan kita mendengar pada
saat ini ada suami-suami takut istri. Budaya asal masing-masing pasangan satu
dengan yang lain menjadi pemicu persoalan yang timbul. Rasul Paulus dalam
suratnya kepada Jemaat di Efesus, tentang dasar dari hubungan suami isteri
adalah Kasih Kristus, untuk itu Peneliti membuat judul penelitian ini adalah : “PENGARUH SIKAP SUAMI ISTRI MENURUT EFESUS
5: 22-33 TERHADAP KEBAHAGIAAN KELUARGA”.
Dalam BAB I ini
akan dibahas tentang : Latar Belakang Masalah; Pernyataan Masalah; Penjelasan
Istilah; Hipotesis Penelitian; Tujuan Penelitian; Kepentingan penelitian; dan
Pembatasan Penelitian.
Latar Belakang
Masalah
Soenoe Rahardjo, menerangkan bahwa
Latar Belakang Masalah adalah suatu uraian yang berhubungan dengan masalah yang
sedang diteliti, dimulai dari yang umum dan luas, kemudian ke bagian sub-sub
masalah yang menjurus ke arah yang lebih sempit, dan makin memfokus pada
masalah yang sedang di teliti akhirnya sampai pada masalah penelitian.[2]
Berdasarkan keterangan di atas , latar belakang masalah
penelitian ini adalah : Allah berfirman
dalam Kejadian 2: 18 “tidak baik, kalau
manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya
yang sepadan dengan dia.”
Hal inilah membuat manusia ditempatkan Tuhan berpasang-pasangan. Setiap orang
memiliki pemahaman yang berbeda tentang perkawinan. Hal itu tergantung kepada
apa alasan dan tujuan mereka untuk menikah.
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia,
perkawinan berasal dari kata “kawin” yang artinya : “membentuk keluarga dengan
lawan jenis”[3] dan
Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, pasal 1 bahwa : “Perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”[4].
Dan isi Undang-undang no.1. Tahun 1974, pasal 1 tersebut dapat diartikan, suami
istri ialah seorang Laki-laki dan seorang Perempuan yang melangsungkan
peresmian Perkawinannya berdasarkan pemberkatan oleh Tuhan melalui Pendeta.
Pemberkatan nikah yang mereka terima
dari gereja dalam satu
upacara gerejawi dapat kita amini
sebagai aplikasi dari pemberkatan nikah oleh Allah bagi pasangan suami istri
pertama di Taman Eden yakni Adam dan Hawa (bdg Kej 1:28). Apa
yang disampaikan oleh Kepala Gereja, Yesus Kristus dalam Matius 19:6 “Apa yang
telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia”. Ini dapat diterapkan
kepada pasangan laki-laki dan perempuan yang menerima pemberkatan nikahnya dari
Allah melalui hambaNya yakni Pendeta.sejak saat itu mereka dinamakan sebagai
suami istri.
Suami istri adalah dua individu yang
telah dipersatukan oleh Allah sehingga hidup suami dengan istrinya sehakekat ikatan lahir dan batin yang
tidak boleh diputuskan kecuali karena kematian. Mulai sejak menerima
pemberkatan nikah di dalam diri masing-masing harus tertanam, berakar dan
tumbuh serta berbuah hakekat hidup mereka “telah dipersatukan oleh Allah”
sepanjang jalannya usia pernikahan. Tentang hal itu firman Tuhan menegaskannya
: “Mereka bukan lagi dua tetapi satu” (bdg Markus 10 :8). Suami memperlakukan
istrinya seperti diri sendiri, istri memperlakukan suaminya bagaikan dirinya
sendiri. Hidup dwitunggal (dua dalam kesatuan, satu dalam keduaan) dihayati dan
dijalankan bersama setiap saat baik ketika bersama maupun berpisah oleh sesuatu
tugas dan urusan sosial moralnya.
Hubungan
suami dengan istri dan sebaliknya haruslah berisi dan menggambarkan terjadinya hubungan
masing-masing dengan Yesus Tuhan dan Juruslamat mereka. Kebenaran Firman
Tuhan haruslah melandasi, menerangi, menggarami perjalanan hidup suami istri
setiap saat. Suami istri harus mempunyai prinsip untuk membawa kebahagian
pernikahan, yakni: “FirmanMu adalah pelita bagi kakiku dan terang
bagi jiwaku” (Mazmur 119:105).
Namun hakekat dan praktek hidup
suami istri warga jemaat kristen pada masa kini sering dicemari oleh pengaruh
adat istiadat, egoisme, keinginan dunia dan pola pikir yang kurang baik. Sikap
memandang rendah pasangan atas dasar latar belakang ekonomi, pendidikan dan
adat istiadat kerap kali ditemukan dalam kehidupan suami istri. Banyak hal-hal lagi
yang menjadi sebab lahirnya masalah dalam hidup suami istri. Misalnya suami
yang mengabaikan tata krama terhadap istri, sering berbicara kasar dan
marah-marah pada istri tanpa menghiraukan perasaannya dan tanpa alasan yang
tepat. Sibapak sebagai pencari nafkah cenderung ia berlaku semena-mena dalam
keluarga. Sementara si ibu (istri) yang mempunyai lebih banyak penghasilannya
dari suami kadang berlaku semena-mena dalam keluarga atau lebih menonjol gaya
hidupnya dari yang lain. Dia lebih sering diluar rumah dari pada di dalam rumah
sehingga dia sering marah-marah untuk mengalihkan
perhatian suami ataupun anak-anak agar tidak berkomentar dengan tindakannya.
Sikap suami terhadap istri yang
sering kasar terkadang membuat si istri tidak tahan akhirnya minggat
meninggalkan rumah dan anak-anaknya, terkadang istri menjadi kehilangan
kesadaran karena tertekannya kehidupan akibat ulah suami. Ada juga sikap istri
yang sangat dingin akibat terlalu sibuk dengan kepentingannya sehingga si istri
sering tidak menyambut suami pulang kerja. Istri bersikap cuek, acuh tak acuh
terhadap suaminya dan kurang memperhatikan kerapian dan kebersihan dirinya, akibatnya
suami lebih suka mencari kesenangan diluar rumah hingga klimaksnya suami
mencari kepuasan dari wanita lain yang lebih memperhatikan dan mengsihinya.
Tidak sedikit dari pasangan yang mengalami masalah seperti itu mengambil
keputusan untuk bercerai dan korbannya adalah anak-anaknya. Dan banyak
melakukan hal-hal yang tidak benar dimata Tuhan, seperti perselingkuhan dan
poligami. lni banyak dilakukan oleh pasangan-pasangan yang semata-mata
menunjukkan bahwa mereka tidak merasa puas dengan pasangannya yang sah.
Padahal
semula penciptaan Allah sendiri menginginkan perkawinan itu tetap langgeng
harmonis dan utuh sampai kematian memisahkan mereka. Dan Tuhan juga
menginginkan suami ataupun istri kiranya takut akan Tuhan sehingga dalam rumah
tangga akan ada kebahagian dan keharmonisan. Allah juga menginginkan supaya
suami istri satu kepada yang lain menyatakan kasih sayang, saling menghibur, saling
melengkapi, saling menolong dalam menghadapi suka maupun duka di dalam rumah
tangga pada khususnya dan di dalam dunia pada umumnya. Seperti yang diungkapkan oleh Jhon Stoott
dalam bukunya berjudul : Isu-isu global sebagai berikut :
Allah berfirman : tidak baik kalau manusia itu seorang
diri saja, aku akan menjadian baginya seorang penolong yang sepadan dengan dia (Kejadian 2:18). Jadi Allah menghendaki
perkawinan sebagai wahana untuk menyatakan kasih sayang dan perkawinan tiba
dalam timbal balik untuk saling menghibur dan bahu membahu menghadapi
baik suka maupun duka.[5]
Dan buah
pikiran teolog di atas dapat kita pahami apa - apa saja harus
diperhatikan oleh suami istri dalam perjalanan hidup rumah tangga itu tiap
waktu yakni : saling mengasihi, saling menghibur, bahu membahu baik dalam suka
maupun duka. Tanpa kesediaan masing-masing menerapkan pola hidup kristiani yang
sedemikian, akan tanggung jawab segala upaya mereka untuk membina kebahagian
hidup sebagai suami istri. Di mana menurut E.G. Homrighausen, dkk mengatakan :
keluarga Kristen adalah pemberian Tuhan yang tak ternilai
harganya, di mana apabila keluarga itu dikuasai oleh Yesus Kristus sendiri niscaya
keluarga itu menjadi taat dan kuat dalam tangan Tuhan untuk memperkembangkan
dan mematangkan pribadi-pribadi Kristen yang luhur.[6]
Dengan
adanya sifat yang dikuasai oleh Yesus Kristus maka akan tercipta keluarga yang
bahagia. Di mana dapat kita lihat arti bahagia menurut Indrawan
dalam kamus bahasa Indonesia “bahagia artinya hati senang, beruntung”[7]. Hidup
bahagia ini menjadi tujuan setiap orang yang membangun keluaga baru dan ini
merupakan cita-cita mereka dalam membina keluarga itu. Dalam hal ini kebahagiaan itu bukan
hanya bersifat material tetapi harus seimbang dengan hal yang jasmani dan
rohaninya. Keluarga bahagia merupakan pasangan yang merasa senang selama
bersama pasangannya baik di dalam rumah maupun diluar rumah, dan setelah
hadirnya keturunan mereka.
Terkadang sebagai orang tua mereka
lalai memperhatikan anak-anaknya, akhirnya anak-anak tidak lagi menghormati
mereka dan dalam kenyataannya juga sikap orang tua yang sering terlalu keras
dan kasar terhadap anak membuat anak-anak tidak dapat mengerti apa kemauan orang tuanya.
Dampaknya, anak-anak menjadi nakal dan bisa sampai menuju kejahatan,
pelanggaran hukum. Tetapi dengan sikap yang salah maka keputusan orang tua
yaitu suami dan istri tidak memikirkan lagi kebahagiaan anak-anaknya sehingga
tujuan keluarga itu tidak ada lagi dan menjadi suatu kehancuran. Dan pada zaman
modern ini banyak juga yang menikah hanya mengutamakan kebutuhan jasmani bukan
kebutuhan rohani, karena itulah pasangan setelah menikah banyak yang bubar
ditengah jalan dan tidak bersatu lagi karena tidak menjadikan Tuhan sebagai
Kepala Keluarga itu.
Penjelasan
Istilah
Penjelasan Istilah, menurut A. B.
Subayo adalah terdiri dari penjelasan
konsep yaitu batasan secara konsep dari variabel yang ada sedang yang lain,
penjelasan secara operasional yaitu : batasan yang menunjuk cara – cara yang
dipakai untuk mengukur atau memanipulasi variabel penelitian yang menjawab
pertanyaan ” bagaimana kita akan tahu Variabel itu, jika
kita melihatnya atau mendengarnya.[8]
Berdasarkan
pedoman tersebut di atas, maka dalam penelitian ini :
PENGARUH SIKAP
SUAMI ISTRI MENURUT EFESUS 5: 22-33
Pertama :“Pengaruh ” adalah
daya yang ada dari suatu yang ikut membentuk
kepercayaan, watak atau perbuatan
seseorang.[9]
Ketiga :“Suami Istri”, Laki-Laki dan Perempuan yang menjadi pasangan hidup
yang terikat dalam janji perkawinan sebagai penggenapan perintah Allah dalam
Kitab Suci.
Keempat :“Efesus 5 : 22
- 23” SuratRasul Paulus Kepada Jemaat di Efesus yang berthemakan tentang
Kasih Kristus dasar dari hubungan Suami Isteri.[11]
Kelima : Pengaruh Sikap Suami Istri Menurut Efesus 5: 22-33, adalah suatu daya yang ikut
membentuk watak yang dipersiapkan untuk bertindak bagi Laki-Laki dan perempuan untuk
terikat dalam perkawinan di mana Kasih Kristus sebagai pengikat hubungan Suami
Isteri.
Keenam : Kebahagiaan , adalah kondisi perasaan yang tenang dan
damai , bebas dari rasa tekanan dan ketakutan.
BAB II
KERANGKA BERPIKIR
2.1. Sikap
Suami Isteri Dalam Efesus 5 : 22 – 33.
2.1.1. Pengertian
Sikap Suami Isteri
Menurut
WJS Poerwadarminta mengatakan Sikap (Pasangan) adalah persiapan untuk
bertindak, bertingkah laku, perbuatan[2].
Jadi sikap suami istri ialah tindakan atau perbuatan suami istri dalam
menjalani kehidupan berkeluarga yang menuju keluarga yang bahagia.
a. Hakekat
Suami Istri
Allah
berfirman dalam Kejadian 2: 18 “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan
penolong baginya yang sepadan dengan
dia.” Hal inilah membuat manusia di tempatkan
Tuhan berpasang-pasangan.
Setiap orang memiliki pemahaman yang
berbeda tentang perkawinan. Hal itu tergantung kepada apa alasan dan tujuan
mereka untuk menikah. Di bawah ini penulis akan menguraikan dari beberapa tokoh
mengenai pengertian perkawinan yakni: di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang artinya: “membentuk keluarga dengan
lawan jenis”[21] dan
menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, pasal 1 bahwa: “Perkawinan adalah ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami Isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”[22].
Ikatan lahir batin antara suami Isteri
ini juga harus dilandasi dengan rasa sating kasih mengasihi, bantu membantu
serta membagi suka dan duka antar satu dengan yang lain, demikian juga dengan
harta benda bukan lagi
disebut milikku atau milikmu tetapi menjadi milik kita. Disamping pengertian
perkawinan di atas maka menurut K.Wijaya Mukti menjelaskan ialah :
Perkawinan
adalah ikatan lahir dan bathin dari dua orang yang berbeda jenis kelamin yang
hidup bersama untuk selamanya dan bersama-sama melaksanakan Dharma agar
memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan sekarang ini ataupun kehidupan yang akan
datang. Dasar perkawinan ini tidak bisa lain darn cinta. Berdasarkan hubungan
jasa-jasa yang lampau atau sekarang ini maka cinta bersemi bagaikan teratai
dipermukaan air[23]
Selanjutnya
juga dikatakan bahwa; “bila wanita dan pria keduanya mengharapkan berjodoh satu
sama lain dalam kehidupan sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang
mereka harus memiliki kepercayaan yang sebanding, budi pekerti yang sebanding,
kemurahan hati yang sebanding dan bijaksana yang sebanding”[24].
Sedangkan Wanda Humble menuturkan bahwa :
Perkawinan
adalah hubungan antara pria dan wanita yang dikehendaki oleh Allah untuk
mencari hubungan yang monogami. Dikehendaki menjadi perjanjian yang permanen dan di dalamnya
banyak keperluan dipuaskan, keperluan untuk dikasihi dan mengasihi, keperluan
untuk persahabtan yang mendalam, untuk saling berbagi untuk hubungan yang
seksual yang memuaskan, untuk anak-anak, keperluan untuk menghilangkan
kesepian. Perkawinan harus merupakan perjanjian cinta kasih, pantulan dari
kasih Kristus yang diberikan kepada UmatNya, satu perjanjian kasih yang penuh
pengorbanan diamana suami Isteri telah menjadi satu, sedaging dan satu
kesatuan.[25]
Dan menurut Tulus Tu'u S.Th
mengatakan : “Perkawinan Kristen adalah ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami Isteri, yang di dasari akan iman kepada Yesus Kristus.
Pernikahan itu berpusat
pada Yesus Kristus adalah Tuhan atas pernikahan”[26]
Persatuan cinta suami Isteri
tersebut diharapkan dapat menghasilkan keturunan atau anak. Jadi dapat
disimpulkan bahwa ikatan lahir bathin antara pria dan wanita yang sudah
dikehendaki oleh Allah untuk membentuk keluarga yang baru. Ikatan yang baru ini
juga harus dilandasi dengan kasih kepada Allah (vertikal) dan kasih kepada
sesama manusia (Horizontal). Bila kasih ini diutamakan di dalam perkawinan maka
kebahagiaan dan kedamaian kekal akan menjadi pengalaman di dalam rumah tangga
untuk selamanya.
Sebelum seorang pria dan wanita
melangsungkan pernikahan, sebaiknya kedua pasangan ini terlebih dahulu memahami
apa yang menjadi tujuan perkawinan mereka. Dengan adanya pemahaman tersebut
mereka dapat mengetahui apa yang harus dilakukan dan yang akan dicapai untuk
masa yang akan datang. Adapun yang menjadi tujuan perkawinan menurut I. Nyoman
Arthayasa adalah : “Untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”[27].
“Kebahagian yang dimaksud disini bukan bukan hanya menumpuknya harta benda atau
kepuasan dalam hubungan seks saja, tetapi terpenuhinya kebutuhan jasmani dan
juga rohani”.[28]
Selanjutnya dikatakan juga bahwa “Tujuan perkawinan yang lain adalah
supaya bisa menghasilkan keturunan dan bisa diajak bekerja sama untuk
melaksanakan Dharma agama dan Dharma Negara”.[29]
Team
pembinaan persiapan keluarga menjelaskan tujuan perkawinan itu sebagai berikut
:
- Kelangsungan bangsa (Keturunan). Perkawinan itu sekedar cinta‑cintaan berdua, melainkan supaya berdasarkan cinta kasih tersebut tumbuhlah baru (manusia baru)
- Perkembangan pribadi, artinya bahwa manusia itu perlu untuk dikasihi dan dicintai. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan supaya yang satu merupakan yang lain.
- Kesejahteraan keluarga merupakan kesejahteraan masyarakat yang artinya nilai yang ditimba dari keluarga akan terpantul dalam lingkungan masyarakat dengan sebaliknya pengalaman baik dan buruk dalam kesejahteraan keluarga sangat mempengeruhi tindakan masyarakat. Untuk mensejahterakan keluarga perlu adanya kejujuran/sikap terbuka.[30]
Seorang tokoh agama Budha Cornelis
Wowor menjelaskan bahwa: “Tujuan perkawinan itu membentuk rumah tangga yang
aman, damai, rukun dan sejahtera pada kehidupan sekarang ini, juga
masing-masing individu mengharapkan agar perkawinan mereka masih dapat
berlanjut hingga pada kehidupan yang berikut setelah mereka dipisahkan oleh
maut pada kehidupan sekarang”.[31]
Perkawinan ini juga bertujuan untuk membiakkan umat manusia, jika tidak ada
perkawinan pasti tidak ada keluarga, tak ada ikatan keluarga, tak ada daya
kekuatan yang mempersatukan berbagai unsur dalam masyarakat dan akibatnya tak
ada pendapat. Hanya melalui
keluarga sajalah umat manusia dapat dipersatukan dan peradapan dapat
diwujudkan.
Di
dalam adat dan upacara perkawinan Daerah Sumatra Utara memaparkan tentang
perkawinan yakni :
Di
dalam adat Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak memiliki tujuan
perkawinan yaitu :
1.
Untuk
Dapat Melanjutkan Keturunan.
2.
Untuk
dapat memperoleh anak laki-laki agar ada yang mewarisi segala harta benda yang
ditinggalkan oleh orang tuanya kelak.
3.
Memupuk
hubungan keluarga antara satu pihak lain sesuai dengan unsur-unsur yang
terdapat pada dalihan natolu.
4.
Menambah kaum kerabat sebab perkawinan bersifat eksogami.
5.
Merupakan syarat untuk memperoleh kebahagiaan.
6.
Melaksanakan
ajaran agama.
7.
Merupakan
keharusan menurut adat batak sebab suatu hal yang memalukan bila putra/putri
yang sudah dewasa tidak dikawinkan.[32]
Dan
menurut Wanda Humble berpendapat bahwa tujuan perkawinan itu ialah :
a. Tujuan
yang pertama yang bisa kita lihat adalah supaya saling menolong, Kejadian 2:18
“Tuhan menciptakan seorang wanita bagi adam supaya wanita itu menjadi penolong
bagi Adam”
b. Tujuan
yang kedua dalam perkawinan
adalah supaya saling bersekutu. Hawa diciptakan Tuhan ditengah-tengah
kesendirian Adam. Semua binatang sudah diciptakan Tuhan (Kejadian 2:19-20)
tetapi tidak ada yang dapat bersekutu dengan Adam.
c. Tujuan
yang ketiga adalah supaya memperoleh anak, dalam Kejadian 1:28 dituliskan
“beranakcuculah dan bertambah banyak”
d.
Tujuan
ke empat dalam perkawinan adalah supaya menjadi pasangan suami Isteri
selama-lamanya. Dalam kejadian 2:24 dituliskan “sebab itu lain-lain akan
meninggalkan ayah dan ibunya sehingga keduanya menjadi satu daging”, Markus 10 :9 Berkata “Apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh
manusia”
e.
Tujuan
kelima adalah Supaya rumah tangga kristen menjadi berkat bagi orang lain, Tuhan
Yesus memakai istilah
garam dan terang dunia supaya orang yang melihat kita mempermuliakan nama Bapa
di sorga (Matius 5:13-16)[33].
Dan
untuk memperjelas tujuan perkawinan di atas maka penulis menuliskan lebih
spesifiknya yaitu :
- Memperoleh Keturunan
Salah satu tujuan keluarga adalah
memperoleh keturunan, tujuan Allah menciptakan keluarga itu adalah agar
melaksanakan amanat Allah, memenuhi bumi dan menciptakan keturunan “beranak cuculah
dan bertambah banyak (Kej. 1:28b). Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang
paling istimewa yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Manusia
diciptakan pada hari yang keenam dan demikian juga dengan mahluk hidup lainnya
segala jenis binatang (Kej 1:24).
Dan berbicara dengan masalah keturunan dapat kita lihat persamaan yang ada
dengan manusia dan hewan. Menurut Drs. R.Suhartini C. Mengatakan :
Rupanya dalam hal memperoleh
keturunan dunia manusia tidak berbeda dengan dunia hewan, mempertahankan jenisnya
dorongan ini demikian kuatnya sehingga suami Isteri akan kecewa sekali apabila
dalam perkawinan tidak menghasilkan keturunan[34]
Dari penjelasan di atas, jelaslah
bahwa kecenderungan memperoleh dan mempertahankan jenisnya (reproduksi) bukan
saja ada pada hewan, tetapi terdapat juga pada manusia, sekalipun ada bedanya
dengan hewan. Dorongan bersetubuh (cuitus), pada binatang hanya berfungsi untuk memperoleh
keturunan (reproduksi). Artinya jantan pada hewan hanya berhasrat bila si hewan
betina dalam keadaan subur. Sebaliknya pada manusia persetubuhan, bukan
semata-mata reproduksi saja, tetapi kapan saja suami Isteri kehendaki kecuali
pada waktu Isteri menstruasi (haid). Selanjutnya kecenderungan memperoleh
keturunan pada manusia dikenal sebagai dimensi prokreasi.
Bila berbicara bahwa tujuan
pernikahan salah satu memperoleh keturunan lewat hubungan sex, itu merupakan
usaha Allah mendesain sex. Maka
timbullah pertanyaan apakah Allah mengizinkan reproduksi saja sebagai alat
memperoleh keturunan sementara cara lain (bayi tabung) Allah tolak ? dalam hal
ini Jhonathan A. Trisna mengatakan : “Sejak semula Allah mendesain sex untuk
mendapat keturunan. Ini tentunya tidak berarti bahwa semula / segala
cara lain salah dan bertentangan dengan kehendak Allah dan oleh karena itu
harus ditolak (misalnya mendapat keturunan dengan “bayi tabung).[35]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa sekalipun prokreasi
adalah cara
yang Allah gunakan untuk memperoleh keturunan, Allah juga mengiginkan cara lain untuk mendukung reproduksi
sejauh tidak bertentangan dengan Firman Allah.
Suatu hal yang perlu diperhatikan
mengenai tujuan berkeluarga memperoleh keturunan ialah tanggung jawabnya,
banyak pasangan yang menderita dan tertekan bila tidak mencapai tujuan ini yakni memperoleh
keturunan. Bahkan masalah keturunan ialah salah satu penyebab timbulnya perceraian. Bahkan karena alasan tersebut Isteri
rela di madu (Suami berpoligami). Tetapi bila pasangan telah mencapai tujuan
pernikahan mereka tetap puas saja. Banyak diantara pasangan tidak menyadari
bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap keturunan. Untuk menjadi Ayah dan
ibu tidak cukup hanya membesarkan anak saja. Tetapi harus membesarkan dan
memelihara anak tersebut dari segi jasmani (pertumbuhan), Psikologi (mental),
intelek (pendidikan), dan rohani (agama). Dalam hal ini juga Jakub Nahuway
mengatakan :
Jadi
tanggung jawab beranak cucu adalah tanggung jawab suami Isteri. Dan jika
tanggung jawab ini dilaksanakan dengan benar maka akan mendatangkan kebahagiaan
bagi keluarga, tetapi jika tidak dilaksanakan dengan benar maka berdosa
dihadapkan Allah yang memberi tanggung jawab itu.[36]
Dari pandangan di atas, jeiaslah
suami Isteri yang menyadari tugas tanggung jawab dan melaksanakan dengan baik
maka akan mendatangkan kebahagiaan.berarti Ietak kebahagiaan suatu keluarga
terletak pada pelaksanaan tanggung jawab orang tua tersebut, dalam memainkan
peranannya. Sebaliknya suami Isteri yang tidak memainkan
peranannya dengan baik
dalam mengurus anak adalah berdosa
dihadapan Allah.
- Mencari Kebahagiaan
Tujuan kedua dari pekawinan adalah
mencari kebahagiaan, dan disini dikatakan oleh R. Suhartini ialah :
Orang
kawin juga mencari kebahagiaan, dua orang yang saling mencintai hanya dapat dibenarkan merealisasikan
cinta kasihnya itu dalam ikatan perkawinan. Kebahagiaan ini dapat bersifat
jasmani yaitu terpenuhi kebutuhan jasmaniah dan khususnya hubungan sex tetapi
dapat juga bersifat rohani[37]
Dari penjelasan di atas jelaslah
bahwa fungsi dari pada rekreasi (sex semata-mata sebagai mendapat kebahagiaan)
hanya untuk mencari kenikmatan kebahagiaan saja tetapi dimensi rekreasi ini
bertujuan juga sebagai obat atas fisik yang tidak bergairah yang terlalu tegang
serta emosi yang tidak stabil, artinya ketegangan fisik ini dapat disalurkan
melalui sex dalam ruang lingkup pernikahan.
Menikmati
dan memelihara hubungan sex lainnya saling mendapat kebahagiaan pernikahan,
kemesraan antara suami Isteri sudah memiliki anak boleh menyisikan waktu untuk
berdua seperti masa pacaran dulu guna memelihara kemesraan dan keintiman supaya
si iblis tidak mengambil kesempatan untuk merusak hubungan tersebut.
Tetapi pada kenyataannya banyak
pasangan yang tidak mencapai tujuan
kebahagiaan ini dalam keluarga. Padahal tujuan inilah yang mereka gumuli
bertahun-tahun
pada masa pacarannya. Masalah ini biasanya disebabkan keberbedaan yang mencolok dari kedua pasangan
dalam mencapai titik klimaks sex (orgasme).
Biasanya sang suami sudah duluan mencapai orgasme sementara sang Isteri masih mau
memulai (berpancing). Hal ini sering menjadi konflik dalam kehiduan sex. Dalam
hal ini Vokhard dan Gerlinde Scheunemann mengatakan dari solusi ini :
“Kekurangan pengertian emosional antara laki-laki dan perempuan menjadi sumber salah paham, titik berat seorang laki-laki
terletak dalam hal jasmaniah pada tubuhnya, wanita dalam jiwanya, perasaannya,
wanita memberi sex untuk kasih”[38]
Dari pendapat-pendapat di atas,
sebagai solusi dari konflik dalam kehidupan suami Isteri adalah pertama, bagi pasangan suami Isteri harus ada
keterbukaan dari hati ke hati
mengenai ketidak selarasan kepuasan hubungan sex tersebut. Selanjutnya pasangan
suami Isteri harus memiliki kesadaran bahwa sex harus di tempatkan secara benar.
Untuk mewujudkan hal ini kedua
pasangan suami Isteri harus mempelajari psikologi pasangan, disamping saling terbuka. Psikologi
untuk suami titik berat hubungan sex terletak pada jasmani, atau pada tubuh pasangannya. Yang dikenal
istilah “laki-laki
memberi kasih untuk sex” demikian pula untuk wanita psikologinya ialah hubungan
sexnya terletak pada jiwa dan perasaannya yang dikenal dengan istilah “Isteri
memberi sex untuk kasih” masalah lain sering ditemukan halangan mencapai tujuan
kebahagiaan adalah sang Isteri sering diseberangi rasa jijik dan takut saat
bersetubuh. Dalam hal ini Naek L. Tobing menanggapi penyebabnya :
Lebih
jauh lagi, dari nara sumber datangnya jijik dan takut tersebut? Mungkin pernah
mendengar cerita bahwa penis pria itu kotor membawa penyakit dan lain-lain,
mungkin pernah
mau diperkosa seseorang. Atau barang kali pernah mendengar cerita bahwa penis masuk, sakitnya bukan main dan bisa membuat orang pingsan[39]
Dari pendapat di atas, jelaslah
bahwa disamping keberadaan pencapaian titik puncak dalam hubungan sex, Isteri
sendiri merasa jijik dan takut. Biasanya rasa jijik dan takut disebabkan
beban-beban pikiran yang negatif yang dibawa sejak masih gadis. Apabila
pikiran-pikiran negatif dihilangkan maka hubungan suami Isteri akan normal kembali maka sasaran mencapai kebahagiaan
akan tercapai.
Disamping itu yang membuat suami Isteri
sering menemukan konflik hubungan seksual dalam masa-masa awal pernikahannya
adalah dangkalnya pengetahuan yang mereka miliki sebelum memasuki pernikahan.
Bahkan banyak pasangan muda yang memasuki pernikahan tidak diperlengkapi dengan
pengetahuan pernikahan melalui konseling pranikah. Mengingat hubungan seksual
menempati tempat yang penting dalam kehidupan pernikahan maka sikap hati yang bijaksana perlu dimiliki suami Isteri
terutama suami sebagai kepala keluarga, hal ini Tim dan Baverly Lahaye
mengatakan:
Perlakuan
yang kasar atau menyakitkan dapat dengan mudah mematikan keinginannya untuk
berhubungan intim selama beberapa hari, ketika perasan seorang wanita telah di
injak-injak oleh suaminya. Sering kali ia menolak cumbu rayu suaminya. Dan ini
juga dikemukakan oleh Gary Smalley, bila anda telah dipandang rendah,
diremehkan dan dikritik selama bertahun-tahun mungkin sangat sulit untuk
memenuhi kebutuhan sex. Banyak wanita mengatakan bahwa bercinta dengan suami
tanpa persiapan terlebih dahulu secara emosional membuat mereka merasa seperti
pelacur.[40]
Dari pendapat di atas bahwa amarah
dan sakit hati yang suami perbuat jika tidak cepat diselesaikan pada Isteri
maka akan menghancurkan keharmonisan keluarga terutama dalam hubungan seksual.
- Mengembangkan Kepribadian
Tujuan keluarga yang ketiga adalah
mengembangkan kepribadian. Sikap-sikap
positip yang dimiliki pria dan wanita yang
ada sejak mudanya akan semakin berkembang nyata setelah wanita dan pria
tersebut membentuk keluarga. Dalam hal ini R Suhartini C, mengatakan:
Umumnya
seseorang baru
tampak kebijaksanaannya apabila sudah berkeluarga. Perkembangan lain yang
didapat dalam keluarga tambah sabar, tambah akal pikiran, tambah semangat,
tambah besar tangung jawab, pendek kata lekas dapat mencapai kedewasaan atau
kematangan.[41]
Dan pendapat di atas jelaslah, bahwa
pengembangan pribadi itu terlihat nyata dalam hal ini kesabaran: sabar mengurus
anak dari bayi sampai dewasa. Sabar melihat dan menerima kelemahan suami yang
suka membuat alasan-alasan terlambat pulang kerumah dari pekerjaan serta sabar
menerima kelemahankelemahan lainnya. Sabar menerima kelemahan adik ipar dan
mertua. Memiliki semangat hidup dalam keluarga untuk suatu visi membahagiakan
keluarga dalam mencari uang dan menyekolahkan anak, tambah dewasa berpikir dan
tambah menyadari besarnya tanggung jawab dalam pekerjaan dan keluarga.
- Menjadi Bagian Masyarakat atau Negara
Selain mendapat anak, mencari
kebahagiaan dan pengembangan kepribadian menjadi bagian masyarakat atau Negara
adalah juga merupakan dari tujuan pernikahan. Dalam hal R. Suhartini C
Mengatakan :
Keluarga
merupakan unit masyarakat yang terkecil. Sulit dibayangkan adanya masyarakat
atau negara tanpa adanya keluarga sebagai bahagian masyarakat, keluarga dapat
menyumbangkan jasa jasa dan produksinya kepada masyarakat dan keluarga saling
mempengaruhi[42].
Dari pendapat di atas jelaslah, bahwa
keluarga adalah bagian dari masyarakat, oleh sebab itu keluarga dan masyarakat saling mempengaruhi dan
membutuhkan. Dalam hal ini tiap keluarga dapat menyumbangkan jasa-jasa, pikiran
dan produksinya kepada masyarakat. Bentuk yang konkrit dalam mengembangkan diri
dan menjadi bagian masyarakat adalah dalam hal bekerja. Banyak motivasi bekerja
dari seorang suami atau Isteri.
Lebih dari pada itu bahwa tujuan
keluarga sebagai bagian masyarakat dalam mengembangkan jasa, produksi dan
pikirannya lewat bekerja adalah sebagai sumbangsih masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini Dorthi L. Marx mengatakan:
“Pekerjaan
bukan hanya menentukan nilai dari pada sumbangsih kita terhadap masyarakat
setempat, melainkan sumbangsih itu sendiri dan mengembangkan potensi-potensi
dari kepribadian kita masing-masing”.[43]
Berhubungan
dengan itu Sasangko Sudarjo menambahi:
“Menurut
Brawing tugas kita adalah mengusahakan agar apa yang telah dianugrahkan Tuhan
dapat dimamfaatkan semaksimal mungkin, sebenamya hidup didunia ini tidak lebih
untuk menyenangkan dan membahagiakan orang banyak”.[44]
Dari pendapat di atas, jelaslah
bahwa pekerjaan, ide, jasa dan produksi yang
kita hasilkan (pemanfaatan
atas anugrah Tuhan) adalah sebagai suatu sumbangsih itu sendiri yang bertujuan
membahagiakan dan menyenangkan orang banyak.
Dari beberapa tujuan perkawinan yang
telah diuraikan
beberapa tokoh, maka dapat disimpulkan bahwa: Adapun yang menjadi tujuan perkawinan bagi manusia adalah membentuk
keluarga yang baru yang di
dalamnya banyak kebutuhan dipuaskan. Di dalam tujuan perkawinan juga manusia
dapat belajar mengasihi Tuhan yang telah menciptakan mereka dengan
berpasang-pasangan sehingga mereka dapat saling memperlengkapi.
Dengan adanya tujuan perkawinan itu
juga manusia dapat mengetahui apa yang menjadi rencana untuk yang akan datang.
Apa yang seharusnya mereka lakukan haruslah bergantung kepada yang sudah
disusun. Untuk mencapai tujuan perkawinan itu memang tidaklah mudah, akan
tetapi jika dilakukan dengan kasih dan sabar pastilah akan tercapai sesuai
dengan apa yang diinginkan.
Perkawinan dalam agama Kristen harus
kita bahas satu persatu dan terlebih dahulu kita membahas perkawinan menurut perjanjian Lama adalah perkawinan
yang monogami artinya “Sistem yang hanya pmemperbolehkan seorang laki-laki
mempunyai satu Isteri pada jangka waktu tertentu”[45].
Kebenaran Firman Tuhan juga menjelaskan bahwa “Tuhan Allah membuat manusia itu
(Adam) tidur nyenyak; ketika ia tidur Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk
dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang
diambil Tuhan Allah dari manusia itu , dibangunyalah seorang perempuan lalu
dibawanya kepada manusia itu. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan Isterinya sehingga keduanya menjadi satu
daging, Kejadian 2:21-22,24. Seorang tokoh kristen Joyce coon juga mengatakan di
dalam bukunya Rencana Allah Bagi Rumah Tangga Kristen bahwa :
Allah
menciptakan pernikahan yang pertama ketika ia membawa perempuan itu kepada Adam.
Allah memberikan dia kepada Adam untuk hidup bersamasama dengan dia dan
menjadi Isterinya. Allah tidak membuat seorang laki-laki lain untuk menjadi
teman adam, tetapi Allah membuat seorang perempuan. Ia akan tinggal bersama
dengan adam selama hidupnya dengan hidup bersama‑ sama mereka berdua menjadi
lengkap dan daat menanggulangi segala sesuatu yang akan mereka hadapi dalam
hidup ini[46].
Dan beberapa pandangan di atas dapat
dipahami bahwa, dari semula Tuhan sudah menetapkan perkawinan yang monogami. Pernikahan
Adam dengan Hawa yang ditetapkan sekali untuk selamanya. Tuhanpun memberkati
mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak penuhilah bumi dan taklukkanlah
itu”. Hal ini membuktikan bahwa hubungan suami Isteri itu tetap berlangsung
sampai kematian yang memisahkan mereka, Kejadian 1:28.
Tuhan tidak menginginkan perceraian,
Maleakhi 2:15-16: "Bukankah Allah Yang Esa menjadikan mereka daging dan
roh? dan apakah yang dikehendaki
kesatuan itu? keturunan Ilahi, jadi jagalah dirimu. Dan janganlah orang tidak
setia terhadap Isteri dari masa mudanya, sebab Aku membenci perceraian, Firman
Tuhan, Allah Israel.
Dan perkawinan dalam Perjanjian Baru akan kita bahas ke yang berikutnya karena
itulah yang menjadi topik pembahasan kita dalam tulisan ini.
2.1.2. Eksegese Efesus 5 : 22 - 33
Dalam
Perjanjian Baru, Allah juga telah menetapkan Perkawinan yang didasarkan atas
Kasih Kristus. Di dalam Efesus 5 : 22-33 ini akan kita lihat bagaimana sikap suami Isteri dalam hidup rumah
tangga kristen yang dikehendaki oleh
Allah. Paulus menuliskan
nasihat ini supaya umat kristen mengerti akan kehendak Allah dalam menjalani
hidup berumah tangga. Lihat Struktur Ayat berikut :
22.
Αἱ γυναῖκες τοῖς ἰδίοις ἀνδράσιν ὑποτάσσεσθε ὡς τῷ Κυρίῳ,
23.
ὅτι ὁ ἀνήρ ἐστι κεφαλὴ τῆς γυναικός, ὡς καὶ ὁ Χριστὸς κεφαλὴ τῆς ἐκκλησίας, καὶ αὐτός ἐστι σωτὴρ τοῦ σώματος.
24.
ἀλλ᾽ ὥσπερ ἡ ἐκκλησία ὑποτάσσεται τῷ Χριστῷ, οὕτω καὶ αἱ γυναῖκες τοῖς ἰδίοις ἀνδράσιν ἐν παντί.
25.
οἱ ἄνδρες ἀγαπᾶτε τὰς γυναῖκας ἑαυτῶν, καθὼς καὶ ὁ Χριστὸς ἠγάπησε τὴν ἐκκλησίαν καὶ ἑαυτὸν παρέδωκεν ὑπὲρ αὐτῆς,
26.
ἵνα αὐτὴν ἁγιάσῃ καθαρίσας τῷ λουτρῷ τοῦ ὕδατος ἐν ῥήματι,
27.
ἵνα παραστήσῃ αὐτὴν ἑαυτῷ ἔνδοξον τὴν ἐκκλησίαν, μὴ ἔχουσαν σπίλον ἢ ῥυτίδα ἤ τι τῶν τοιούτων, ἀλλ᾽ ἵνα ᾖ ἁγία καὶ ἄμωμος.
28.
οὕτως ὀφείλουσιν οἱ ἄνδρες ἀγαπᾶν τὰς ἑαυτῶν γυναῖκας ὡς τὰ ἑαυτῶν σώματα. ὁ ἀγαπῶν τὴν ἑαυτοῦ γυναῖκα ἑαυτὸν ἀγαπᾷ·
29.
οὐδεὶς γάρ ποτε τὴν ἑαυτοῦ σάρκα ἐμίσησεν, ἀλλ᾽ ἐκτρέφει καὶ θάλπει αὐτήν, καθὼς καὶ ὁΚύριος τὴν ἐκκλησίαν·
30.
ὅτι μέλη ἐσμὲν τοῦ σώματος αὐτοῦ, ἐκ τῆς σαρκὸς αὐτοῦ καὶ ἐκ τῶν ὀστέων αὐτοῦ·
31.
ἀντὶ τούτου καταλείψει ἄνθρωπος τὸν πατέρα αὐτοῦ καὶ τὴν μητέρα καὶ
προσκολληθήσεται πρὸς τὴν γυναῖκα αὐτοῦ, καὶ ἔσονται οἱ δύο εἰς σάρκα μίαν.
32.
τὸ μυστήριον τοῦτο μέγα ἐστίν, ἐγὼ δὲ λέγω εἰς Χριστὸν καὶ εἰς τὴν ἐκκλησίαν.
33.
πλὴν καὶ ὑμεῖς οἱ καθ᾽ ἕνα ἕκαστος τὴν ἑαυτοῦ γυναῖκα οὕτως ἀγαπάτω ὡς ἑαυτόν, ἡ δὲ γυνὴ ἵνα φοβῆται τὸν ἄνδρα.[47]
Bagian
tafsiran ini terdiri dari :
1.
Sikap Isteri Terhadap Suami (Ef. 5:22-24)
22.
Αἱ γυναῖκες τοῖς ἰδίοις ἀνδράσιν ὑποτάσσεσθε ὡς τῷ Κυρίῳ,
23.
ὅτι ὁ ἀνήρ ἐστι κεφαλὴ τῆς γυναικός, ὡς καὶ ὁ Χριστὸς κεφαλὴ τῆς ἐκκλησίας, καὶ αὐτός ἐστι σωτὴρ τοῦ σώματος.
24.
ἀλλ᾽ ὥσπερ ἡ ἐκκλησία ὑποτάσσεται τῷ Χριστῷ, οὕτω καὶ αἱ γυναῖκες τοῖς ἰδίοις ἀνδράσιν ἐν παντί.
Dalam Efesus 5: 22-24 dijelaskan
“Hai Isteri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah
kepala Isteri sama seperti kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang
menyelamatkan tubuh, karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus,
demikian juga Isteri kepada suami dalam segala sesuatu”.
Yakni “tunduk” jika kita bandingkan
Alkitab bahasa Yunani dengan bahasa Indonesia, akan kita temukan perbedaan. Yang pertama dalam
kitab bahasa Yunani, perikop “Kasih adalah Dasar Hidup Suami Isteri” diawali
dari Efesus 5:21-23. sementara kitab bahasa Indonesia, perikop “Kasih Dasar
Hidup Suami Isteri” diawali dari Efesus 5:22-23. perbedaan kedua, kata
“tunduk”=
ύποταγή (hupotage)
dalam Alkitab bahasa Yunani terdapat hanya satu kali saja yakni di Efesus 5:21
“rendahkanlah dirimu” =(Ηυποτασσομενοί = hupotassomenoi). Kata tunduk dalam
ayat 21 berlaku untuk ayat 22 “tunduklah” τοίς Ιδίοίς (tois idios).
Untuk lebih spesifiknya, penulis
membahas Efesus 5: 22 “Hai
Isteri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”. Kata “tunduklah” –
Yunani (Tois idios) yang artinya :
– Tois (τοίς). Analisis kata ini adalah kata ganti orang ketiga
(nya), jamak, datif. Kata ganti refleksif , datif menyatakan : kepadanya.
– Idios (Ιδίος), analisis kata ini adalah partisif, kini, medial adalah
tindakan yang terjadi bersamaan waktu dan tindakan kata kerja pokok. Kata ini
secara literal menjadi tunduk secara terus menerus terhadap milik sendiri. Dari
analisis tersebut, penulis memparaprasikan ayat ini sebagai berikut: “Isteri-Isteri
tunduklah (dari akar kata rendahkanlah dirimu (21) secara terus menerus untuk
dirimu sendiri kepadanya (suamimu)
seperti kepada Tuhan” dengan kata lain akibat dari kata tunduk itu, bukan saja
bagi si suami tetapi juga berakibat positif bagi si Isteri (din sendiri).
Dari analisis bahasa aslinya bahwa kata “tunduk” disini
adalah tunduk secara terus menerus terhadap milik sendiri (suami). Penafsir Dr, J.L.
Abineno berpendapat :
Sikap
penundukan diri (upotage) ini yang paulus tuntut dari Isteri-Isteri terhadap
suami-suami mereka, kita temui dalam rupa-rupa bentuk dan variasi dalam PB.
Dalam Titus 2:9 (Bnd 1 Pet 2:18) bahwa hmba-hamba harus tunduk kepada tuan
mereka dalam segala hal kepada orang-orang muda petrus menasehatkan supaya
mereka menundukkan diri
kepada orang-orang tua terhadap satu sama lain 1 Pet 5:5. nasehat yang sama
Paulus berikan kepada anggota-anggota jemaat Rm 13:1-7, terhadap negara Tit 3:1; l Pet 2:13 dan
kepada ank-anak terhadap orang tua mereka Ef 6:1[48] Sesuai pendapat di atas, bahwa kata
yang sama (υποταγή = upotage),
Paulus pakai juga dalam hubungan suami Isteri. Hal di atas, (ύποταγή hupotage), sangat benar yang
dijelaskan oleh kamus
Yunani-Indonesia: (ύποταγή
= hupotage) ketaatan,
ketaklukan, ketundukan, kepatuhan.
Penekanan kata “tunduk” secara terus menerus yang
ditekankan pada kitab Efesus disebabkan latar belakang masyarakat Efesus yang
dikelilingi agama dan budaya kekafiran. Dimana para wanita memegang peranan
penting (menguasai) dalam aspek kehidupan baik mulai dari pemerintahan,
pekerjaan rumah tangga, sampai kepada peribadatan (imam-imam). Hal itu didukung
oleh legenda yang dipercayai oleh orang Efesus.
Orang
menyatakan bahwa kota pertama didirikan tiga
ribu tahun SM dan kota
itu dinamai menurut seorang Ratu Amazon yang bengis. Menurut legenda suku
bangsa amazon berasal dan, suku bangsa wanita yang suka berperang yang menawan
dan yang memperbudak kaum pria.
Berdasarkan
latar belakang bangsa tersebut di atas, Paulus menekankan kepada jemaat Efesus (perempuan) yang datang dari latar belakang
kekafiran, agar meninggalkan kebiasaan lama yang suka menguasai para
pria/suami, dalam segala aspek kehidupan. Beralih
pada kebenaran Kristus untuk tunduk (taat, patuh dan takluk) kepada suami
seperti kepada Kristus, secara terus menerus. Karena perempun/Isteri (jemaat
Efesus) sekarang sudah berada/ berimankan kepada Kristus. Karena suami adalah kepala Isteri. Paulus
mengambil contoh bahwa kedudukan suami sama seperti kedudukan Kristus dalam
Gereja-Nya yakni sebagai kepala.
Kata “tunduk” bukanlah menunjukkan
meremehkan atau merendahkan martabat wanita, melainkan merupakan penghargaan
yang tinggi terhadap wanita seperti kata D. Scheunemann :Meskipun
Firman Tuhan memberi kewibawaan kepada kaum pria atas wanita, bahkan menuntut
penaklukan diri dari seorang Isteri terhadap suami namun hal itu sama sekali
tidak berarti bahwa wanita dianggap lebih rendah martabatnya dari pada lain-lain. Sebaliknya mulai dari Hawa, ibu dari
segala yang hidup lewat Debora yang memimpin tentara israel sampai kepada Maria yang telah melahirkan
Juruslamat dunia, nampak sekali penghargaan yang tinggi terhadap wanita.[49]
Kata “tunduk” tidak hanya berlaku dipraktekkan kepada suami-suami yang
sudah bertobat (sungguh-sungguh hidup di dalam Tuhan) saja. Tetapi sebaliknya
ketundukan itu juga justru harus berlaku dan diterapkan kepada suami-suami yang
belum bertobat. Untuk memenangkan suami-suami yang belum bertobat itu bagi
Kristus. 1 Petrus 3:1-2 memberi petunjuk : demikian juga hai kamu Isteri-Isteri,
tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada diantara mereka yang tidak taat
kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan Isterinya,
jika mereka melihat bagaimana murni dan salehnya hidup Isteri mereka.
Jelaslah bahwa sikap tunduk itu
tidak hanya berlaku diterapkan pada suami yang sudah bertobat saja melainkan
justru lebih dari ini penekanannya pada suami yang belum bertobat, karena
disamping sikap murni dan saleh Isteri tersebut dapat memenangkan suami yang
belum bertobat, penundukan pada suami tersebut merupakan pelayanan kepada
Allah. Karena suami adalah kepala dari Isteri.
Namun perlu disadari bahwa kata
penundukan disini tidak menyangkut kepada hal untuk berbuat dosa, seperti yang
diungkapkan oleh Gangga Eltho di dalam bukunya, Intimacy yaitu :
Isteri
tunduk kepada suami diwujudkan dengan sikaf dan perbuatan yang penuh rasa
hormat, yang tulus. Sikap hormat ini terlepas dari tindakan maupun karakter
suaminya yang buruk, akan tetapi bagaimanapun Isteri harus tetap menunjukkan
penghargaan dan memperlakukannya dengan sopan. Jangan harga dirinya dilecehkan
dan dicemoohkan didepan umum. Jangan pernah memberi kesan jelek kepadanya,
jangan membuat suami menjadi malu terhadap pekerjaannya. Jangan mendongkol
setiap ide pikirannya dengan memperdebatkannya dan memojokkannya dan jangan
sekali-kali mengendalikan atau menguasai suaminya, sebab bukan suami yang harus
tunduk, tetapi Isteri yang harus tunduk kepada suami[50]
Sesuai pendapat di atas, dimana
sikap tunduk ditunjukkan Isteri kepada suami dengan perbuatan yang penuh rasa hormat
dan tulus walaupun suaminya jahat ataupun kasar dengan kata lain suami sering
memperlakukan Isteri dengan sikap yang buruk, tidak menghargai dan mensepelekan
Isteri tetapi Isteri harus tetap tunduk kepada suami dimana tidak pernah suami
yang disuruh tunduk melaikan Isterilah yang tunduk kepada suami hal inilah
sesuai dengan pendapat di atas. Sebagai Isteri jangan pernah memberi kesan
jelek dan rasa dongkol kepada suami karena kita melakukan ini semua hanya untuk
Tuhan.
Dan
menurut Alkitab Penuntun dikatakan bahwa :
Isteri,
Tunduklah ini mengandung arti bahwa Isteri memperoleh tugas yang diberikan
Allah untuk membantu dan tunduk kepada suaminya, kewajibanya kepada suaminya
meliputi kasih (Tit 2:4),
hormat (1 Pet 3:1-2), bantuan(Kej 2:18),
Kesucian (Tit 2:5), pengembangan roh yang lembut dan dan tenang dan menjadi
seorang ibu dan pengatur rumah tangga yang baik. Tunduknya seorang Isteri
kepada suaminya dilihat oleh Allah sebagai bagian dari ketaatannya kepada
Yesus, “seperti kepada Tuhan”. Suami...Kepala. Allah telah menetapkan keluarga
sebagai kesatuan dasar sebuah masyarakat. Setiap keluarga harus memiliki
seorang pemimpin. Oleh karena itu Allah telah menyerahkan kepada suami tanggung
jawab menjadi kepala Isteri dan keluarga, kepemimpinannya itu harus
dilaksanakan di dalam kasih, kelembutan, dan tenggang rasa terhadap Isteri dan
keluarganya. Tanggung jawab suami yang diberikan Allah sebagai "kepala Isteri"
meliputi Penyediaan kebutuhan rohani dan kebutuhan rumah tangga bagi
keluarganya, kasih, perlindungan dan perhatian untuk kesejahteraannya
sebagaimana Kristus mengasihi gereja, hormat, pengertian,penghargaan dan
perhatian, kesetiaan mutlak terhadap ikatan pernikahan[51]
Dalam Alkitab penuntun ini dikatakan
Isteri tunduk itu memperoleh tugas dari Allah untuk dilakukan yang di dalamnya
ada kasih, hormat, bantuan, kesucian dan lemah lembut dan tenang itulah Isteri
yang di idam-idamkan seorang suami menjadi Isterinya. Hal inilah Isteri harus
benar–benar menjadi ibu dalam rumah tangga mereka dari situ akan nampak
terlihat penundukan Isteri terhadap suami tercermin dari tingkah laku dan tutur
bicaranya.
Isteri juga harus benar-benar dengan
tulus mengasihi keluarganya dengan segenap hati dan jiwanya maka Isterilah yang
menyediakan kebutuhan dalam rumah tangga itu, jadi Isteri akan memberikan
pengertian, penghargaan dan perhatian, kesetiaan, penuh dalam rumah tangganya
karena itulah perintah Allah yang harus dilakukan bagi seorang Isteri.
Dan
dalam Tafsiran Alkitab masa kini dikatakan bahwa :
Kata
Tunduklah mengingat pemakaian kata kerja yang sama dalam l korintus 14 : 34 dan mungkin menunjukkan
bahwa ayat ini pun harus dilihat sebagai pembicaraan kedudukan wanita dalam
keanggotaan gereja. Kedudukan sebagai kepala dimiliki oleh Kristus maupun pria
sebagai suami (dipakai kata Yunani Aneh bukan kata umum untuk manusia,
anthropos namun pemakaian itu bukan tidak bisa diubah karena kutipan dalam ayat
31 memakai kata anthropos). Kristus adalah jugs juruslamat gereja dan
memberikan pengertian bahwa Kristus memelihara gereja .[52]
Disini digambarkan Tuhan bahwa Isteri
harus tunduk kepada suami seperti bahwa bagaimana kedudukan seorang wanita
dalam gereja harus tunduk kepada Allah dimana jemaat (mempelai wanita) harus
tunduk kepada mempelai pria (Kristus) itu menunjukkan posisi kita dalam gereja
bahwa kita harus benar-benar tunduk kepada perintah Allah dan melakukaknya.
Dari beberapa pandangan para Ahli
maka kita dapat menyimpulkan bahwa seorang Isteri itu tunduk kepada suami bukan
berarti, tidak berhikmat. Jika suaminya memerintahnya untuk melakukan dosa
bukan berarti harus menurut akan tetapi mereka dapat menolaknya dengan sopan.
"Jika suami menyuruh melanggar perintah Allah , melanggar hukum negara,
dan menyiksa dirinya secara terus menerus sehingga dapat mengancam nyawanya, Isteri
dapat menolaknya dengan lembut sehingga perasaan suami tidak tersinggung”[53]
Perkawinan yang harmonis tidak
terlepas dari perbutan dan tingkah laku sang Isteri. Jika setiap Isteri yang
sudah menikah memiliki sikap yang tunduk kepada suaminya niscaya rumah tangga
itu akan selalu bahagia dan sejahtera sampai selamannya. Namun sebaliknya
apabila sikap Isteri selalu ingin menang sendiri maka rumah tangga itu akan
hancur berantakan. Untuk menjaga dianjurkan kepada setiap Isteri supaya meningkatkan
kasih dan peranan terhadap suami dan hal itu tidak terjadi dan keluarganya.
Kata “tunduk” yang ditekankan Paulus
yang merupakan kehendak Tuhan, menunjukkan sikap kepempinan wanita. Kata “hai Isteri
tunduklah secara terus menerus kepada suami seperti kepada Tuhan. Tunduk secara
terus menerus tidak dibatasi dengan waktu, Isteri tidak hanya tunduk kepada
suami sebatas satu dua tahun saja, melainkan selama Isteri menjadi Isteri suami.
Berkaitan dengan itu batasan ketundukan Isteri kepada suami seperti yang
dikatakan dalam Roma 7:2-3 bahwa seorang Isteri terikat oleh hukum kepada
suaminya selama suaminya hidup dan kalau suaminya mati bebaslah ia dari hukum
tersebut dan ia dapat menjadi Isteri orang lain.
Prinsip yang diperoleh dari
pembahasan Efesus 5:22-24 ini bahwa Isteri ini tidak hanya terima bersih
tanggung jawab suami : mengasihi dan bertanggung jawab atas ketidakadilan yang
dialaminya melainkan harus menjalankan tugas Isteri terhadap suami, dengan membiasakan
hidup bersikap tunduk (patuh, taat dan takluk) secara terus menerus tanpa
diabatasi oleh waktu kepada suami (sekalipun suami belum bertobat) seperti
tunduk kepada Tuhan sebagai suatu pelayanan terhadap Allah.
2.
Sikap Suami Terhadap Isteri (Ef. 5:
25-30)
25.
οἱ ἄνδρες ἀγαπᾶτε τὰς γυναῖκας ἑαυτῶν, καθὼς καὶ ὁ Χριστὸς ἠγάπησε τὴν ἐκκλησίαν καὶ ἑαυτὸν παρέδωκεν ὑπὲρ αὐτῆς,
26.
ἵνα αὐτὴν ἁγιάσῃ καθαρίσας τῷ λουτρῷ τοῦ ὕδατος ἐν ῥήματι,
27.
ἵνα παραστήσῃ αὐτὴν ἑαυτῷ ἔνδοξον τὴν ἐκκλησίαν, μὴ ἔχουσαν σπίλον ἢ ῥυτίδα ἤ τι τῶν τοιούτων, ἀλλ᾽ ἵνα ᾖ ἁγία καὶ ἄμωμος.
28.
οὕτως ὀφείλουσιν οἱ ἄνδρες ἀγαπᾶν τὰς ἑαυτῶν γυναῖκας ὡς τὰ ἑαυτῶν σώματα. ὁ ἀγαπῶν τὴν ἑαυτοῦ γυναῖκα ἑαυτὸν ἀγαπᾷ·
29.
οὐδεὶς γάρ ποτε τὴν ἑαυτοῦ σάρκα ἐμίσησεν, ἀλλ᾽ ἐκτρέφει καὶ θάλπει αὐτήν, καθὼς καὶ ὁΚύριος τὴν ἐκκλησίαν·
30.
ὅτι μέλη ἐσμὲν τοῦ σώματος αὐτοῦ, ἐκ τῆς σαρκὸς αὐτοῦ καὶ ἐκ τῶν ὀστέων αὐτοῦ·
Berdasarkan
kasus di atas, yakni asumsi pria, tentang pernikahan adalah bahwa tanggung
jawab kepada Isteri hanya sebatas mencukupi kebutuhan keluarga khususnya kepada
kebutuhan Isteri, hanya sebatas materi, menyebabkan pernikahan tidak bahagia
dan tidak bertahan. Menurut Efesus 5:25, seorang suami perlu mengetahui
kewajibannya kepada Isterinya, yang merupakan kebutuhan hakiki yakni “kasih”.
Efesus 5:25: “Hai suami ,kasihilah Isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi
jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”
Sekarang dijelaskan arti yang
sebenarnya dari kewajiban tunduklah dalam ayat-ayat yang lebih dulu. Kewajiban
itu adalah kewajiban dalam kasih. Kasih suami berpolakan kasih yang lebih besar
seperti kasih Kristus kepada pengantinnya. Latar belakang gagasan ini terdapat
dalam PL teristimewa Paulus mendasarkan ini pada perkawinan Yahweh dengan
umat-Nya. Taurat menjadi perjanjian perkawinan, Musa adalah orang yang membawa pengantin kepada Allah
bagi Paulus hubungan Kristus dengan pengantin-Nya, gereja merupakan cara lebih
lanjut untuk mengatakan Zaman Taurat telah diganti menjadi Zaman Mesis.
Menurut
Ch. Abineno :
Kata
(agapao) yang terjemahan disini “mengasihi” sering dipakai untuk kasih Allah,
ia menempatkan seluruh hubungan antara suami dan Isteri di bawah kuasa dan
kasih Kristus. Kasih Kristus itu tidak dilukiskan dengan kata-kata yang diambil
dari erotik, tetapi dengan kasih seperti yang terdapat dalam gereja dan dalam
rumah tangga (keluarga). Disinilah letaknya perbedaan yang principil dengan
alam pikiran kafir yang tidak asing bagi anggota-anggota jemaat di Efesus.[54]
Kata “kasihilah” = άγαπᾶτε (agapate).
Analisa kata ini adalah Aoris, aktif, imperative. Aoris, imperative menyatakan,
“tindakan yang belum dimulai/dilaksanakan”. Kata ini secara literal, “kasih itu
belum ada dilaksanakan”. Dari analisis tersebut penulis memaparkan sebagai
berikut: suami - suami mulailah mengasihi Isterimu
secara terus menerus. Sebagaimana
Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya bagi manusia.
Mengingat latar belakang budaya
Efesus, dimana para Isteri yang dominan atau menguasai para suami-suami pada
saat itu, sesungguhnya para suami mengasihi Isteri mereka dalam kasih suami
(eros). Sebab eros (kasih birahi) itulah yang mempersatukan mereka sampai
menjadi suami Isteri. Hanya kasaih yang belum suami lakukan kepada Isteri
mereka adalah kasih agape (kasih ilahi), kasih Tuhan Yesus Kristus, yang
diharapkannya dilakukan suami pada Isteri.
Kasih Yesus Kristus disini adalah
kasih yang memberi kasih tanpa syarat dan kasih yang sifatnya berkorban.
Menyadari para suami jemaat Efesus juga datang dari latar belakang kafir dan
mereka telah datang dan diselamatkan di dalam iman kepada Kristus, maka Paulus
meminta jemaat (suami) untuk meneladani Yesus Kristus yang adalah kepala Gereja
sendiri yang telah menyerahkan dirinya bagi Gereja dengan mati di Kayu salib,
untuk menguduskan, menyucikan dan memandikan Gereja/jemaat di hadapan Allah
Agape menghendaki, merencanakan dan
melakukan segala sesuatu bagi kebaikan orang yang dikasihinya. Agape melayani
dan membutuhkan pengorbanan, sebab itu perlu kedewasaan pada seseorang untuk
mengasihi dengan kasih agape.
Ketika Alkitab memerinthkan seorang
suami untuk mengasihi suaminya (Ef 5
:25) kata Yunani yang digunakan adalah agape ini tidaklah muncul
dengan kehendak hati yang alami, tidak selalu mengikuti kecenderungan yang
masuk akal, tidak menghabiskan tenaganya karena menemukan perasaan seiring
terhadap seseorang yang disenanginya.
Berkaitan dengan itu perealisasi
dari pada agape yang berpusat pada objek adalah seperti pada gambaran berikut
ini: demikian kewajiban suami kepada Isteri. Ia harus dapat mengasihi secara
total dan mampu menerima setelah
mengampuni segala kelemahan dan kekurangan yang ada pada diri Isterinya. Jika
kewajiban ini dapat terpenuhi, maka secara otomatis pula Isteri akan tunduk
kepada suami.
Artinya mengingat dalam diri pria
ada potensi untuk memimpin dan berkreasi, kecenderungan untuk keras, tegas dan
kejam itu ada, maka dalam keberadaan emosi dan intelek (logika) pasangannya (Isteri),
yang diberikan Tuhan, suami diharapkan untuk mampu mengasihi Isteri dengan
kasih agape (kasih yang berkorban), bukan mengasihi Isteri dengan kasih yang
direkayasa. Bukan mengasihi Isteri dengan kasih logika. Bukan pula mengasihi Isteri
dengan kasih yang membawa akibat (artinya suami mengsihi Isteri karena Isteri
suka menyediakan makanan yang disukai suami), karena Isteri dapat melayani
suami dengan baik ditempat tidur. Tetapi suami tidak lagi mengasihi Isteri
dengan kasih Allah/agape, karena Isteri tidak lagi memperhatikan kebutuhan
makanan kesukaan suami, dan karena Isteri tidak lagi mau melayani suami
ditempat tidur.
Dan
ayat 26-27 "Untuk menguduskannya sesudah ia menyucikannya dengan
mernandikarnya dengan air dan firman, Supaya dengan demikian ia menempatkan
jemaat dihadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang
serupa tetapi biar jemaat kudus dan tidak bercela" tujuan dan buah
pekerjaan-Nya bagi gereja adalah pengudusan, gereja dikeluarkan dari suasana
dosa dan ditempatkan dalam suasana kekudusan. Alat untuk melaksanakan
dilukiskan dengan, sesudah ia menyucikan, memandikannya dengan air dan firman harfiah dengan pemandian dengan air
dalam firman pembasuhan ini hampir tidak lain adalah baptisan, sedangkan firman
harus dimengerti sebagai penyataan iman dari orang yang bertobat.
Dan
melihat kedepan kepada realisasi tujuan Tuhan Yesus pada saat mempelai datang
untuk menerima pengantin-Nya gereja akan cemerlang karena kudus dan tidak
bercela. Ayat 28-30 “demikian juga suami harus mengasihi Isterinya sama seperti
tubuhnya sendiri. Siapa mengasihi Isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab
tidak pemah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan
merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota
tubuh-Nya”. Sekarang ajaran itu dikenakan pembahasan yang aneh tentang kasih
suami terhadap Isteri sama seperti tubuhnya sendiri mungkin terjadi karena
paulus ingin melanjutkan perbandingan dengan kristus yang mengasihi tubuh-Nya,
gereja. Ia memakai dua kata kerja dari dunia perawatan kanak-kanak baik mengasuh maupun merawat berarti
pemeliharaan yang sungguh-sungguh kalau digunakan untuk perhatian suami terhadap Isteri,
perlindungan, cinta kasih dan pemeliharaan yang nyata dan praktis.
Dengan
kata lain akhirnya penulis dapat menyimpulkan, agar rumah tangga itu dapat
bertahan sampai kesudahannya. Para suami harus
menyadari bahwa tanggung jawab itu tidak hanya memenuhi kebutuhan Isteri dan
anak sebatas materi saja, tetapi juga harus bertanggung jawab terhadap
kebutuhan emosi si Isteri yakni dikasihi dengan kasih agape (Kasih Allah yang
berkorban dan tanpa syarat yang terus menerus) disamping kasih eros.
3. Hubungan
Suami Dengan Isteri (Ef. 5:31-32)
31. ἀντὶ τούτου καταλείψει ἄνθρωπος τὸν πατέρα αὐτοῦ καὶ τὴν μητέρα καὶ
προσκολληθήσεται πρὸς τὴν γυναῖκα αὐτοῦ, καὶ ἔσονται οἱ δύο εἰς σάρκα μίαν.
32.
τὸ μυστήριον τοῦτο μέγα ἐστίν, ἐγὼ δὲ λέγω εἰς Χριστὸν καὶ εἰς τὴν ἐκκλησίαν.
33.
πλὴν καὶ ὑμεῖς οἱ καθ᾽ ἕνα ἕκαστος τὴν ἑαυτοῦ γυναῖκα οὕτως ἀγαπάτω ὡς ἑαυτόν, ἡ δὲ γυνὴ ἵνα φοβῆται τὸν ἄνδρα.[55]
Begitulah
Kristus memelihara gereja. Ayat 31-32 “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan
Ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan Isterinya, sehingga keduanya itu menjadi
satu daging. Rahasia itu besar tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus
dan jemaat”.
Ada tiga aspek dalam pernikahan
berdasarkan ayat di atas yakni :
- Meninggalkan Ayah dan Ibunya
- Bersatu (berdampingan) dengan Isterinya
- Keduanya menjadi satu daging
Banyak suami Isteri tidak memahami
arti dari aspek pernikahan ini yakni: “menjadi satu daging” sehingga ketidak
pahaman akan makna yang disebut di atas merupakan penyebab akan
keretakan/percekcokan, bahkan penyebab hancurnya suatu rumah tangga.
Ef.5:31 adalah merupakan kutipan
dari Kej 2:24 oleh rasul
Paulus. Yang akan penulis bahas disini adalah Ef 5:31 yakni kata “menjadi satu
daging” = είϚ σάρκα
μίαν (eis sarka mian). Analisis kata ini (είϚ = eis)
adalah kata konjungsi (kata depan) = seperti, dalam. Sarka berasal dari kata
sarkos yakni kata benda, artinya daging (tubuh)..1adi sarka itu lebih luas
bukan saja mengarah kesatu pribadi (tubuh) saja, tetapi mencakup dua aspek
tubuh (fisik) dan jiwa (psikis).
Mono adalah kata bilangan yakni
satu. Kata ini secara literal : “dalam satu daging (tubuh) yang berhubungan
dengan jiwa”. Dan analisis tersebut, penulis memaparkan sebagai berikut: “sebab itu
laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan Isterinya, sehingga keduanya itu dalam
satu daging (tubuh) yang berhubungan dengan jiwa (psikis)”.
Persetubuhan menuntut keterlibatan
total dan merupakan suatu penyerahan total yang mencakup seluruh kepribadian
seseorang. Artinya manusia sebagai ciptaan moral dengan nilai kesetiaan dan
tanggung-jawab sebagai nilai utama justru membutuhkan hubungan yang
bertanggung-jawab dan setia.
Jadi penulis simpulkan “di dalam satu daging yang menyangkut
jiwa” adalah melibatkan dua pribadi tadi dalam satu daging (persetubuhan) dan
dalam emosi. Artinya suami Isteri dapat sating memahami. Apa yang dirasakan suami, dirasakan Isteri
baik dalam sutra maupun duka. Dengan kata lain mereka seperasaan dan
sepenanggungan.
Disisi lain menjadi satu daging
menunjukkan bahwa ikatan antara suami dan Isteri lebih besar dari ikatan antara
orang tua dan anak, seperti dalam pendapat berikut ini : dalam keluarga yang
pertama, hubungan antara suami dan Isteri, kedua suami Isteri dan anak.
Menjelaskan realisasi dari “menjadi satu daging menyangkut jiwa”, dalam
konkritnya.
Hidup
bijaksana dengan Isteri mengijinkan suami untuk memaksa Isterinya. Ia akan
memperhatikan dengan seksama hari-hari dalam sirklus Isterinya yang tidak
memungkinkan persekutuan jasmani (persetubuhan) lebih-lebih dalam bulan-bulan
sebelum dan sesudah melahirkan. Dan banyak contoh yang merealisasikan tentang
kelemahan dan kekurangan suami maupun Isteri. Dalam hal ini suami maupun Isteri
harus menerima segala kekurangan bahkan kelemahan Isteri dengan baik bukan
malah bahan ejekan dengan orang lain, maupun dengan keluarganya.
Demikian juga untuk kelakuan lemah
yang dimiliki oleh suami Isteri jangan sekali-kali marah-marah berkepanjangan
serta membenci suami serta menuntut banyak perubahan suami. Isteri harus
mengambil langkah bijaksana. Tindakan yang harus dilakukan adalah pertama-tama,
datang menyerahkan perlakuan buruk suami kepada Tuhan Yesus setiap hari. Kedua,
Isteri banyak mengoreksi diri dan berdiam diri (menguasai diri), atau dengan
kata lain jadi teladan dalam menenangkan suami. Jangan menjauhi atau memusuhi
suami. Isteri harus membicarakan perlakuan buruk suami secara empat mata dari
hati kehati. Menjelaskan apa pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan terhadap
ekonomi mereka. Isteri harus tegas meminta solusi atas masalah suami tersebut
kepada suami sendiri. Jika belum berhasil Isteri harus mengkonsultasikan
masalah ini kepada penasehat/konselor pernikahan yang kristen.
Apabila kiat-kiat di atas dilakukan,
suami pasti berubah dan keadaan rumah tangga semakin sehat. Dalam Ef 5:32 sebagai ayat lanjutan
dikatakan: “Rahasia itu besar tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus
dan jemaat”. Menjadi satu daging (dalam satu daging yang berhubungan dengan
jiwa) adalah merupakan rahasia besar. Disini bukan saja berbicara tentang
pemikahan (persetubuhan), tetapi lebih dari itu, yakni tentang hubungan Kristus
dengan jemaat.
Yang ingin kita bahas disini adalah
kata “hubungan Kristus dengan jemaat” = είϚ Xριστὸν καί είϚ
τὴν ὲκκλησίαν (eis Kriston kai eis ten eksklesian).
Analisis kata ini adalah : eis adalah kata konjungsi (kata depan) seperti di
dalam. Kriston adalah akusatif, tunggal = di dalam Kristus. Ten eksklesian
adalah akusatif,
tunggal = kepada gereja secara menyeluruh. Kata ini secara tertulis, “di dalam
Kristus kepada gereja secara menyeluruh”. Dari analisis tersebut penulis
memaparkan “rahasia ini besar tetapi yang saya maksudkan ialah di dalam Kristus
kepada Gereja secara menyeluruh”.
Dalam Alkitab telah dituliskan bahwa
persekutuan antara Kristus dengan Gereja seperti suatu perkawinan. Karena
hari-hari perkawinan Anak Domba telah tiba, pengantin-Nya telah siap sedia (Why
21:2). Gereja sebagai gambaran perkawinan
tidak terlepas dari krisis (gereja) ada kalanya merupakan Isteri yang sulit.
Gereja tidak berterima kasih, tidak patuh, tidak setia kepada Kristus sebagai
suaminya. Gereja menolak untuk tunduk kepada-Nya. Contohnya dapat kita lihat
dalam Gereja Laodikia (Why 3:16).
Disini kita lihat walaupun Kristus tidak segan-segan mengatakan yang tegas
kepada Gereja (tanda disiplin), tetapi kenyataannya Kristus tidak pernah
berbuat salah (mengecewakan) Isteri-Nya. Dalam Ef 5:25 Kristus selalu mengampuni, menguduskan,
membersihkan dan menyucikan Isteri-Nya (gereja), tanpa noda, tanpa cacat cela.
Tak pernah terjadi perceraian antara Kristus dan Gereja-Nya. Kristus menyerahkan diri-Nya untuk Isteri-Nya. Untuk Isteri yang tak patuh dan sukar,
Dia menyerahkan diri-Nya.
Kristus
turut juga merasakan segala-galanya bersama Gereja-Nya secara menyeluruh dalam
bentuk penderitaan dan secara nyata dalam fisik menjadi bagian dari kita dalam perjamuan Kudus. Ketakutan kita
menjadi ketakutan-Nya. Penderitaan kita menjadi penderitaan-Nya. Hukuman kita
menjadi hukuman-Nya. Kematian kita menjadi kematian-Nya. Dia menjadi satu
daging dengan kita dalam arti yang sangat nyata, secara fisik menjadi bagian
dari kita, di dalam perjamuan kudus.
Jadi penulis menyimpulkan disini
agar bahtera rumah tangga itu tidak hancur, suami Isteri harus memahami, tugas
dan tanggung jawab suami Isteri yakni: yang pertama Isteri harus tunduk, hormat
secara terus menerus untuk diri sendiri kepada suami seperti kepada Tuhan
(Kristus) yang mengasihi jemaat dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan
dosa-dosa manusia (jemaat). Tunduk, hormat, patuh, takluk tanpa dibatasi waktu,
tetapi sebatas Isteri terikat kepada suami. Yang kedua suami harus mulai
mengasihi Isteri terus menerus dengan kasih ilahi (agape = kasih yang memberi,
berkorban dan tanpa menuntut halas), seperti Kristus telah mengasihi jemaat dan
menyerahkan nyawanya bagi jemaat. Yang ketiga : suami Isteri harus memahami
bahwa tujuan Allah mempersatukan mereka adalah disamping untuk memperoleh
keturunan (persetubuhan), juga menyatu padukan jiwa (perasaan dan kehendak)
yang berbeda, dalam suka dan duka dengan mampu dimengerti dan disutujui. Dan
yang terpenting dalam perkawinan itu adalah menjadi satu daging, hubungan suami
Isteri itu tidak boleh lepas dari patronnya. Hubungan Kristus (kepala) dan
Gereja (tubuh) secara menyeluruh.
4. Kewajiban
Bagi Suami-Isteri (Ef 5:33)
“Bagaimanapun
juga, bagi kamu masing-masing berlaku : kasihilah Isterimu seperti dirimu
sendiri dan Isteri hendaklah menghormati suaminya”
Hal ini kasih yang dimiliki suami
adalah kasih Agape yaitu rela berkorban tanpa pengharapan halasan. Sebagaimana
Kristus telah berkorban nyawa bagi jemaatnya begitu pula suami harus rela
mengorbankan segalanya termasuk nyawanya sendiri bagi kehidupan dan keselamatan
Isterinya. Berkorban bagi Isteri berarti suami menghentikan sesuatu yang
diingininya demi memenuhi sesuatu yang diperlukan Isterinya. Lebih tegas lagi
dikatakan oleh Gangga Eltho :
Mengasihi
Isteri diwujudkan dengan kesabaran dan kelemahiembutan, ia tidak pernah marah,
tidak berlaku kasar, tidak berbicara menusuk hati, tidak melakukan yang tidak
sopan bagi Isteri dan tidak mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Suami yang
mengasihi Isterinya selalu mengampuni Isterinya. Ia tidak menyimpan
kesalahannya. Suami yang bijaksana, mengasihi Isteri dengan adil tanpa syarat. Isteri
ingin dikasihi, lebih dari orang tuanya, lebih dad anak-anaknya dan
lebih Bari pekerjaannya sendiri. Tanggung jawab suami selain
mengasihi Isterinya, ia juga harus mengasuhnya dan merawatnya (Ef.5:29).
Mengasihi Isteri berarti menyediakan apa yang diperlukan untuk pertumbuhan rohani dan jasmani Isterinya. Itu
sebabnya Isteri perlu dibimbing dan diarahkan agar dia dapat berfungsi sebagai
penolong. Merawat Isteri berarti memelihara dan memperlakukan Isteri dengan
lemah lembut, karena Isteri ingin selalu diperhatikan, dibela dan dilindungi.[56]
Keluarga yang berbahagia dan
harmonis sangat dipengaruhi oleh tingkah laku para suami ditengah-tengah
keluarga. Apabila suami tidak mengasihi Isterinya, maka Isteripun tidak dapat
menghormati suaminya akibatnya, suami sering menyalahkan Isteri dan Isteri
selalu kurang puas terhadap suaminya. Akhirnya rumah tangga itu menjadi dingin.
Untuk menanggulangi rumah tangga ini tidak mengalami kehancuran, seorang suami
harus terus belajar untuk menghargai Isterinya.
Sesuai dengan pendapat di atas maka
suami harus mengasihi Isteri dengan kelemah lembutan, tidak berlaku kasar,
tidak berbicara menusuk hati, tidak mencari keuntungan bagi dirinya sendiri,
mengampuni Isterinya apabila berbuat salah juga mengarahkan atau membimbing
kerohanian Isterinya. Apabila sesuai pendapat di atas dilakukan maka akan kita
temuakan dalam rumah tangga itu kebahagiaan.
Hubungan suami Isteri dan berjalan
harmonis (Bahagia, Sukacita, Sejahtera) karena ada sesuatu yang bersifat saling
mengasihi diantara suami dan Isteri. Karena firman Tuhan berkata kasihilah Isterimu
seperti dirimu sendiri dan hendaklah Isteri menghormati suaminya. Menurut Ch.
Abineno :
Kepada
suami ia katakan, kasihilah (Yunani Agapate = kasihilah terus menerus) Isterimu
sama seperti dirimu sendiri. Dan kepada Isteri hendaklah engkau menghormati (
sebenarnya, takut kepada) suamimu. Sekali lagi dari suami Paulus menuntut kasih
dan dari Isteri penghormatan/ketakutan sebagai ganti ketaatan. Tetapi
penghormatan/ ketakutan ini bukanlah penghormatan/ketakutan dari seorang budak
ia adalah penghormatan/ ketakutan dari seorang kekasih yang lahir dari
penghormatan/ketakutan kepada kristus. Keduanya ini yaitu kasih dan
penghormatan merupakan dasar perkawinan merek sebagai gambaran dan hubungan
antara Kristus dan jemaat[57]
Kasih merupakan dasar dari hubungan
suami dan Isteri. Hal itu jelas kita lihat pada kiasan Paulus dalam ayat 23 :
karena suami adalah kepala Isteri sama seperti Kristus adalah kepala tubuh.
Dengan gambaran ini bukan saja mengatakan bahwa Isteri harus tunduk kepada
suaminya tetapi juga bahwa suami harus menjadi kepala Isteri dengan cara yang
sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.
Sisi lain yang perlu diperhatikan di
dalam perkawinan adalah :" suami Isteri harus memiliki satu kepercayaan
yakni "Iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru slamat mereka,
(2Kor 6:14: Janganlah kamu
merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya.
Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan atau
bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap). Pernikahan itu disebut
pernikahan kristen jika suami Isteri telah menerima Tuhan Yesus sebagai juru
Slamatnya. Ini juga berarti kedua pasangan harus mentaati perintah Allah dan
mengandalkan Tuhan sepenuhnya di dalam hidup mereka. Menurut Joyce coon tentang
perkawinan ini adalah :
Suami
Isteri itu harus kedua-duanya percaya kepada Kristus. Allah tidak menginginkan
orang yang percaya menikah dengan orang yang tidak percaya, karena apabila dua
orang itu menikah mereka akan menjadi satu. Allah tidak membenarkan akan hal
itu sebab sama halnya dengan memasang kuk pada seekor sapi dan seekor keledai
bersama-sama untuk membajak sawah[58].
Dapat dikatakan bahwa : seorang pria yang menikah dengan
seorang wanita yang bukan satu iman tidak ada persaamaannya. Mereka sangat
bertolak belakang baik dalam hal berprinsip cara pikir dan dalam mengambil
keputusan dan lain-lain. Pernikahan yang seperti ini juga sering sekali timbul
banyak masalah dan tidak ada jalan keluarnya, sebab suami menganggap pendapatnya
yang benar, demikian juga sebaliknya si Isteri menganggap pendapatnyalah yang
benar. Tidak ada diantara mereka yang mengalah. Tidak jarang pasangan yang
seperti ini akan memilih untuk berpisah, karena tidak ada kecocokan lagi
diantara mereka. Tuhan memerintahkan kepada setiap orang percaya agar memilih
teman hidup yang sepadan dengan mereka.
Dengan adanya Kristus di dalam hidup
mereka maka dialah yang akan mengendalikan hati mereka dan pikirannya sehingga
kedua pasangan ini akan menyadari bahwa mereka hidup bukan untuk dirinya
sendiri tetap juga untuk Tuhan dan orang lain. Suami Isteri itu akan saling
menghormati dan mengasihi sebab mereka mengganggab tidak ada yang lebih tinggi
dan lebih rendah. Pertolongan Allah akan nyata di dalam hidup kita jika kita
berserah kepada-Nya dan yakin Dia pasti akan memberikan jalan keluar, sebesar
apapun yang menjadi masalah di dalam rumah tangga Tuhan sanggup untuk
menyelesaikannya
2.2. Kebahagiaan Keluarga
2.2.1. Pengertian Kebahagian
Keluarga
Menurut Indrawan WS dalam Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini mengatakan “Bahagia artinya bahagia, hati
senang, beruntung”.[59]
jadi kebahagiaan adalah orang yang mempunyai keberuntungan dan yang
memiliki hati yang senang.
Kebahagian yang dimiliki keluarga
kristen akan terpancar dalam kehidupannya sehari-hari. Kehidupan rumah tangga
itu tidak bisa dibohongi dalam bermasyarakat apabila mereka bahagia atau tidak.
Karena akan terlihat dengan jelas dari hubungan suami Isteri yang dijalani
dalam keluarga itu. Untuk lebih jelasnya maka dapat kita lihat beberapa hal
yang dapat mempengaruhi kebahagiaan
keluarga kristen itu diantaranya:
Sungguh menyedahkan bila pasangan
suami-Isteri menempuh kehidupan berumah tangga tetapi mereka tidak sepadan
dengan pasangannya. Maka Alkitab menerangkan penolong yang sepadan sebagai
seorang yang menemuinya berhadap-hadapan muka maka dikatakan yang sepadan ini
adalah mitra. Jadi suami mitranya adalah Isteri maka dia harus benar-benar
mencari yang sama-sama takut akan Tuhan. Seperti Dick Mills mengatakan bahwa
“Allah memberikan adam pasangan yang sepadan atau diri yang lain, seorang yang
akan menjadi mitra imbangan seksualnya, seorang yang akan menghadapinya dan
melihat kedalam matanya”[60].
Disinilah jelas bahwa pasangan yang
sepadan itu merupakan mitra kerjanya bukan menjadi budaknya tetapi menjadi
penolongnya. Keluarga kristen itu akan sadar bahwa mereka adalah pasangan yang
sepadan yang dipersatukan Tuhan karena mereka sama-sama mempunyai Tuhan yang
sama yaitu Yesus Kristus. Bila
anda belum menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamatmu hendaklah
cepat-cepat mengaku dosa dam menyerahkan diri kepada-Nya. Seperti ada perkataan
: Kristus adalah kepala rumah ini, tamu yang tidak kelihatan pada setiap waktu
makan, pendengar yang diam pada setiap percakapan jadi benarlah seperti yang
dikatakan oleh Tim Lahaye bahwa: “Kristus adalah kunci terbaik untuk berbahagia
di dalam pernikahan”[61]
maka kalau Kristus menjadi kepala dalam keluarga itu maka keluarga itu kan
bahagia karena kristuslah yang menjadi kunci utama bagi keluarga.
2.2.2. Model Keluarga Kristen Yang bahagia
Secara umum dapat kita lihat sepuluh
hukum pernikahan bahagia menurut Pdt. Dr. P. Octavianus ialah :
a.
Tidak
marah pada waktu yang sama
b.
Tidak
berteriak satu kepada yang lain
c.
Coba
mengalah untuk menang
d.
Menegur
dengan kasih
e.
Lupakan
kesalahan dimasa lampau
f.
Boleh
lalaikan yang lain tapi jangan dia
g.
Jangan
menyimpan amarah sampai matahari terbenam
h.
Pujilah
dia
i.
Bersedia
mengakui kesalahan
j.
Dalam
pertengkaran yang paling banyak bicara dialah yang salah.[62]
Jadi dalam keluarga kalau dilakukan
sepuluh yang tertera di atas maka keluarga kita akan menjadi keluarga bahagia
dan kita menjadi orang yang sabar seperti yang dikatakan dalam Amsal 16:32
“Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan orang yang menguasai dirinya
melebihi orang yang merebut kota”.
Hal inilah yang perlu kita
laksanakan dalam keluarga supaya dalam keluarga itu tumbuh damai sejahtera,
seperti yang diperbuat Yesus
dalam rumah tangga Kristen adalah memberikan damai sejahtera.
Dan istilah damai sejahtera ini
dilanjutkan oleh Rasul Paulus dalam Kolose 3:15 “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam
hatimu karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh”. Jadi
istilah ini tidak bisa dilukiskan hanya dengan kata-kata saja melainkan
dirasakan dan dialami maka keluarga itu akan dipenuhi kebahagiaan. Dan menurut
K.A.M. Jusuf Roni ada beberapa hal yang menjadi kewajiban suami Isteri dalam
perkawinan untuk menuju keluarga bahagia/harmonis diantaranya, Kewajiban
suami :
- Mengasihi Isteri
- Bijaksana dan hormat terhadap Isteri
- Menghibur Isteri
Kewajiban
Isteri :
a. Mengasihi suami
b. Tunduk kepada Suami
c. harus merasa terikat kepada suami[63]
Dan apabila para suami dan Isteri
melakukan kewajibannya ini dengan sungguh-sungguh kebahagian dan keharmonisan
rumah tangga pasti di alami jika anada bersedia menjalankan kewajiban anda
masing-rasing sebagaimana mestinya. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat
beberapa ciri-ciri keluarga kristen yang bahagia diantaranya :
2.2.2.1. Selalu Menguduskan Hari Minggu
Menguduskan hari minggu artinya
suami-Isteri dan anak-anak harus pergi beribadah kegedung gereja setia hari
minggu, bersekutu bersama jemaat untuk beribadah kepada Tuhan. Mengikuti
kebaktian minggu di gereja adalah bukti ketaatan kita kepada Firman keempat
(Kel 20:8-11). Jangan kiranya sibapak selalu absen kegereja tetapi si ibu dan
anak-anak selalu tetap setia kegereja.
Orang tua pelu menyadari bahwa
mereka adalah guru utama dan pertama anak-anak juga dalam kesetiaan bersekutu
dengan Tuhan dalam kebaktian minggu gereja. Dan orang kristen yang baik akan
bersama-sama pergi ke gereja untuk bersekutu dengan Allah itulah menjadi ciri
orang kristen yang bahagia.
2.2.2.2. Bersukacita
Sukacita
adalah buah Roh
(Gal 5:22). Sukacita orang
Kristen bukan merupakan perasaan dangkal yang seperti halnya termometer, pasang
surut dengan suasana yang berubah-ubah
dalam rumah tangga. Sebaliknya, sukacita Kristen adalah pengalaman
yang ditandai dengan perasaan puas dan penuh kepercayaan yang dalam, apapun
keadaan yang harus kita hadapi disekeliling kita. Warren mengemukakan bahwa : “Sukacita Kristen
tidak pasang surut walaupun menghadapi berbagai keadaan, melainkan menentukan
temperatur rohani dari keadaan-keadaan itu”[64]
Paulus juga menekankan bersukacita
itu seperti bermabuk-mabukan tapi bukan mabuk oleh anggur tapi karena oleh Roh
Kudus seperti yang dialami oleh jemaat mula-mula pada hari Pentakosta (Kis. 2:13-15). Maka hal ini perlu kita
terapkan dalam hidup kita selalu bersukacita karena hidup kita sudah dikuasai
oleh Allah. Dimana kita telah memiliki Roh Allah dan Roh Allah adalah
segala-galanya bagi kita.
2.2.2.3. Penuh Pengucapan Syukur
Seseorang mendefenisikan rumah
tangga adalah sebagai tempat dimana kita diperlakukan paling baik dan tempat
kita paling banyak mengeluh.
Sebagai keluarga kristen yang baik hendaknya kita selalu mengucap syukur akan
segala hal yang kita miliki
dan peroleh. Seperti yang dikemukakan oleh Warren yaitu : “Masing-masing
mengucap syukur kepada Allah atas pasangannya merupakan rahasia keluarga
bahagia, dan Roh Kuduslah yang memberi kita karunia untuk mengucap syukur”[65].
Hati yang mengucap syukur dapat
membantu mengembangkan keharmonisan di dalam rumah tangga. Orang mengira bahwa
dunia berhutang kepadanya sehingga harus memberikan penghidupan kepadanya
adalah orang yang tidak pernah mengucap syukur.
Hati yang penuh pengucapan syukur
biasanya rendah hati, hati yang dengan sukacita dan mengakui bahwa setiap dari
pemberian Tuhan itu adalah baik. Seperti ada tertulis "Mengucap syukurlah
dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu"(lTes 5:18). Inilah yang selalu
ditunjukkan orang Kristen yang bahagia.
2.2.2.4. Merendahkan Diri Seorang
Kepada Yang Lain
Hal merendahkan diri seorang kepada
yang lain tidak ada hubungannya dengan susunan otoritas, melaikan mengatur
kerjanya otoritas. Seperti halnya pada waktu Yesus membasuh kaki murid, Ia
mengajarkan kepada mereka bahwa orang yang terbesar adalah orang yang
menggunakan otoritasnya untuk membangun orang lain bukan menjatuhkan orang
lain.Suami Isteri kristen harus berdoa
dan mempelajari Alkitab dengan bersamasama sehingga mereka dapat mengerti
kehendak Allah. Makanya suami Isteri harus memiliki sikap seperti yang terdapat
di Efesus 5:22-33 itu
sehingga suami Isteri merendahkan diri seorang dengan yang lain. Dimana
hubungan suami Isteri itu adalah menjadi gambaran hubungan Kristus dengan
jemaat-Nya. Inilah menjadi ciri yang harus ditunjukkan oleh keluarga kristen.
2.2.3.
Membangun Keluarga Kristen Yang Bahagia
2.2.3.1. Dengan
Tunduk
Seorang Isteri harus tunduk kepada
suami ini merupakan Perintah Tuhan, wanita kristen harus menjadikan suaminya
kepada Rumah Tangga, menurut Tim LaHaye mengatakan bahwa “seorang Isteri
kristen harus tunduk kepada suami, tetapi banyak penolakan yang dilakukan Isteri kristen untuk
menerima sikap tunduk mereka menganggap mereka akan diperintah-perintah oleh
suaminya”[66].
Dikatakan
lagi “tunduk bukan berarti bahwa seorang wanita tidak dapat memberikan
pendapatnya dengan menyatakan kebenaran dan kenyataannya bahwa semakin Isteri
tunduk semakin suaminya memimpin”[67]
2.2.3.2. Dengan
Saling Menghormati
Isteri
juga harus menghormati suami, Isteri seringkali lebih menghormati lakilaki
atau suami orang lain dari pada suaminya sendiri, jadi sebaiknya Isteri harus
lebih menghormati suaminya. Apabila dia lebih menghormati suaminya maka
kebahagiaan dirumah itu akan terlihat dan apabila mereka saling menghormati
seperti yang dikatakan Octavianus “harus saling menghormati dalam pembangunan
rumah tangga bahagia Dalam 1Petrus 3:7 "demikian juga kamu hai suami-suami
hiduplah bijaksana dengan Isterimu sebagai kaum lemah. Hormatilah mereka
sebagai teman pewaris dari kasih karunia yaitu kehidupan supaya doamu jangan
terhalang” [68]
2.2.3.3. Dengan
Mengasihi
Bukan hanya Isteri yang mempunyai
sikap dalam Efesus ini tetapi suami juga dikatakan “hai suami Kasihilah
iatrimu...” kasih adalah salah satu dari pengalaman– pengalaman manusia yang
paling umum dan salah satu yang paling sulit didefinisikan. Dalam Efesus ini
dikatakan kasih seorang suami terhadap Isterinya harus seperti dia mengasihi
dirinya dan jugs digambarkan bahwa sebagaimana kristus telah mengasihi jemaat
dan telah menyerahkan Diri-Nya baginya.
Menurut
Tim LaHave ialah :
Kasih
itu sangat besar dan baik hati, tidak pernah cemburu, in hati, tidak pernah
sombong, tidak tinggi hati, tidak angkuh, tidak mementingkan diri sendiri,
tidak kasar. Kasih tidak pemarah, tidak mudah tersinggung, melainkan kasih itu
baik hati maka semakin suami mengasihi Isteri maka Isteri akan semakin tunduk dan taat dan makin
menghormati suami[69].
Jadi sikap yang ditunjukkan suami Isteri
ini yaitu Kasih, Tunduk, Hormat atau saling menghormati, apabila dilakukan ini
dalam rumah tangga maka keluarga itu akan bahagia terkhusus bagi keluarga
kristen yang akan memancarkan kebahagiaan yang sesungguhnya.
2.2.3.4. Hayati
dan laksanakan kehidupan “dwi-tunggal”
Laki-laki dan perempuan yang
dipersatukan Allah dalam pernikahan bukan lagi dua tetapi satu (Mat 19:6; Mark
10:9). Kini keduanya menjadi “dwi-tunggal” (dua dalam kesatuan, satu dalam keduaan). Ibarat dua lembar kertas
yang dipersatukan oleh daya lem yang kuat, demikianlah hidup mereka berdua
dipersatukan dalam pernikahan itu oleh pemberkatan Allah.
Dwi-tunggal berarti Isteri di dalam
suami, suami di dalam Isteri. Kemanapun masing-masing pergi, ia membawa
pasangannya itu di dalam dirinya, dimanapun ia tinggal untuk sementara waktu
maka pasangannya ia bawa dalam dirinya. Merasakan bahwa pasangannya berada di dalam dia, maka dia akan berlaku
setia dan tak suka menghianati kesatuan mereka, maka dia akan dimotivasi untuk
menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya demi terpenuhinya kebutuhan keluarga
sehari-hari. Mengapa terjadi perselingkuhan oleh suami dengan wanita lain?
tentu hal itu karena si suami tak menerima keberadaan Isterinya di dalam dia,
jadi tidak dwi-tunggal.
Dan disinilah hendaknya kita
menghayati dan mengamalkan arti dwi-tunggal demi kebahagian keluarga kita.
Seperti Dick Mills mengemukakan bahwa:
Berdua
lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka akan dapat menanggung
sama-sama beban yang dihadapinya. Karena kalau mereka jatuh yang seorang dapat
menghibur yang lainnya, dimana
Allah bermaksud agar suami Isteri menemukan suatu dimensi kelengkapan besar di
dalam diri mereka[70]
Disini jelaslah terlihat bahwa
berdua itu dapat meringankan beban tapi berdua disini dimaksutkan bahwa mereka
hanya berdua jumlah tetapi satu kesatuan makanya sering suami Isteri itu
dikatakan dwi-tunggal/ dua tetapi satu.
2.2.3.5. Hidup
Sebagai Mitra Sederajat
Di dalam Allah lain-lain dan
perempuan adalah sederajat. Allah menciptakan manusia (laki-laki dan Perempuan)
segambar dan serupa dengan Allah (kej 1:26)
maka sesuai dengan pendapat Hedra Rey arti segambar dan serupa ialah: ”Allah
adalah patron dasar manusia, dan manusia mencerminkan Allah. Manusia seperti
Allah tetapi bukan Allah dan manusia harus mewakili Allah”[71].
Dari pendapat di atas jelaslah bahwa manusia itu adalah sederajat tidak ada
perbedaan derajat karena mereka diciptakan oleh Allah, walaupun ada perbedaan
itu hanya perbedaan dan berpikir atau watak manusia. Dalam pemahaman ini,
keduanya harus menerima perbedaan untuk saling melengkapi, menjalankan fungsi
dan tugas yang berlainan untuk kepentingan bersama.
Hubungan keduanya bukanlah hubungan
ibarat atasan dengan bawahan, tetapi hubungan sebagai mitra. Suami bukan
majikan sementara Isteri menjadi buruh kasar, tetapi mereka sederajat dalam
perbedaan yang saling melengkapi dan membutuhkan. Pokoknya guna mencari atau
menumbuhkan kebahagiaan suami Isteri harus hidup sebagai mitra sederajat.
2.2.3.6. Keluargamu
adalah Keluargaku
Suami dan Isteri berasal dari
keluarga yang berbeda. Keduanya harus bersyukur kepada Tuhan yang menciptakan
pasangannya melalui ayah – ibunya masing-masing. Sebagai mana suami menerima,
mencintai, menghargai Isterinya dan sebaliknya, demikian pula mereka harus
lakukan itu terhadap keluarga pasangan. Artinya, suami harus dengan tulus
menerima, menyintai dan menghargai pihak mertuanya sama seperti dia melakukan
hal yang sama terhadap keluarganya sendiri. Isteri juga begitu terhadap pihak
suaminya. R. Paul Stevens mengemukakan “Kemampuan anda untuk mencintai kedua
orang tua anda merupakan ukuran cinta yang dapat anda berikan kepada suami atau
Isteri anda dan keluarganya”[72].
Dari penjelasan di atas jelaslah
kalau kita dapat mencintai orang tua kita maka kitapun harus mencintai keluarga
suami kita mustahil kita bisa mencintai orang tua pasangan kita sedangkan orang
tua kitapun tidak kita cintai. Apabila berpihak kepada keluarganya sendiri akan
jelek dampaknya, sebab
hal itu menunjukkan keterpisahan sikap dan sifat hidup. Pada hal ke
dwi-tunggalan antara suami dan Isteri patut pula dinampakkan melalui pengakuan
dan perbuatan. Keluargamu adalah keluargaku, engkau adalah bagian keluargaku,
aku adalah bagian keluargamu. Alangkah baiknya jika prinsip hidup ini
dijalankan dengan murni
dan konsekuensinya oleh pasangan suami Isteri itu.
2.2.3.7. Jangan
Marah Pada Saat Yang Sama
Latar belakang kepribadian
masing-masing akan boleh jadi menyebabkan kemarahan suami terhadap Isteri misalnya, hal mana
dipicu oleh perbuatan Isteri yang kurang proporsional. Marah boleh saja asal
sifatnya bukan untuk melampiaskan emosi negatif melainkan tindakan mendidik
demi perbaikan suasana. Ribut sih boleh asal ribut itu membuat semakin rukun
(bdg Efesus 4:26). Yang
paling pokok “jangan marah pada waktu yang sama” agar tidak memancing emosi
negatif “orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai
dirinya melebihi orang yang merebut
Kota” (Amsal 16:32). Pdt. Octavianus
mengemukakan:
Dalam
pernikahan kita harus berjalan saling mengampuni. Penyelesaian satu sama lain
membutuhkan waktu karena itu kita harus membuat perjanjian" bila salah seorang dari kami marah, yang
lain harus berdiam diri
janji ini dapat menolong kita untuk dapat bergantung kepada anugrah Tuhan
Yesus.[73]
Dalam hal inilah, kita sebagai suami
Isteri harus dapat menahan diri supaya jangan diantara kita sama-sama marah
tetapi kita dapat menahan emosi kita sesuai dengan pendapat di atas maka kita
akan mendapat anugrah dari Tuhan Yesus Kristus.
Pada saat marah janganlah yang satu
merendahkan yang lain sebab
bisa saja akan memperdalam persoalan oleh karena sakit hati. Hendaklah ide
untuk memperbaiki demi masa depan yang baik adalah tujuan dan kemarahan yang tidak boleh harus
terjadi. Yang dimarahi hendaklah ikut aktif koreksi untuk perubahan, jangan
membandel dalam kesalahan tetapi akui kesalahan itu untuk tidak mengulanginya
kedepan (bdg Luk 17:3-4)
2.2.3.8. Sediakan Waktu Untuk Santai
Santai adalah suasana yang dinikmati
bersama. Membagi waktu untuk bersantai bersama adalah suatu kesempatan yang
indah. Disitu banyak ide-ide dan percakapan ringan yang saling mengisi, dapat
dilakukan permupakatan untuk sesuatu rencana, saling memberi masukan tentang
cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan ekonomi keluarga, dan saling ikut bersenda gurau positip.
Dalam kesempatan yang
amat sedikitpun, waktu untuk santai bersama perlu disisihkan. Octavianus
mengemukakan bahwa:
Pada
waktu bersantai kita dapat mengemukakan pendapat kita pada pasangan kita
walaupun itu hal-hal yang menyakitkan atau nampaknya menghina namun cara
demikian menghindarkan perasaan menghina, meskipun salah tapi dalam
pembungkusan kasih maka pasangan kita tidak akan tersinggung[74].
Pada waktu santai kita dapat
mengemukakan pendapat kita atau sakit hati kita kepada pasangan dengan terus
terang karena pada waktu seperti itulah kita dapat berbicara dengan tenang dan
mencari jalan keluarnya, maka pasangan kitapun tidak akan tersinggung.
Keluarga yang baik adalah keluarga
yang menyisihkan waktu santai bersama misalnya dirumah. Terserah pada waktu
pagi, siang, sore, ataupun malam kapan saja dianggap baik. Apalagi ada hari
libur itu dapat dimamfaatkan. Berkumpul bersantai bersama adalah cara terbaik untuk membina kehannonisan
dan kebahagian keluarga. Tuhan telah beri waktu buat kita, maka pakai itu
dengan sebaik-baiknya dalam suasana kasih di dalam Allah (bdg Pengkotbah. 9:9). Allah
telah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan karena itu dialah yang
menghendaki menetapkan, memberkati dan memelihara pernikahan dan lebih menarik
lagi bahwa laki-laki
dan perempuan telah diciptakan dari satu daging itu berarti laki-laki dan perempuan
hanya belahan saja dan melalui pernikahan belahan itu menjadi satu kesatuan yang utuh dan sama derajatnya. Harus disadari bahwa perkawinan
terjadi bukan karena kehendak manusia melainkan atas kehendak Tuhan. Perkawinan
itu mempunyai tujuan yang amat baik dan harus melaksanakan perintah Tulin dan
yang paling utama harus melaksanakan perintah itu menjadi suatu sikap suami isteri
dalam kehidupan keluarganya, dimana sikap itu dapat kita lihat dalam Efesus
5:22-33, apabila suami isteri melakukan sikap ini maka akan mendapat kebahagian
dalam keluarganya.
Kebahagian adalah tujuan akhir
setiap pernikahan dimana apabila membangun/membina suatu pernikahan maka akan
terbayang dibenaknya akan mendapat kebahagiaan dan sikap suami isteri yang
melakukan saling menghormati, tunduk, kasih akan mencerminkan kebahagian yang
sesungguhnya, ini yang menjadi dasar keluarga Kristen.
[1]Andreas
Bambang Subagyo, Pengantar Research
Kualitatif dan Kuntitatif (Bandung,
Kalam Hidup), 190
[2] Wjs.Poerwadarminta,Kamus Besar Bahasa Indonesis, (Jakarta: Halai Pustaka,
2006), hal.1120
[2]
Soenoe Rahardjo, Diktat Metode Penelitian
Lanjutan, (Medan, STTBM,Tahun 2010),l 6
[3] Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta
: Halai Pustaka 2002), hal. 105
[4] Depertemen
Agama RI, UU Perkawinan Dengan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta :
PT.Pradya Paramita, 1982), hal. 6
[6] E.G.Homrighausen,
dkk, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 2005), hal. 128
[7] Indrawan, Kamus bahasa Indonesia,
(Lintas Media Jombang 1999), hal. 21
[8]
Andreas Bambang Subagyo, Pengantar
Research Kualitatif dan Kuntitatif
(Bandung, Kalam Hidup ), 191
[9] Indrawan WS , Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Jombang: Lintas Media, 1996), 380
[10] Ibid, 509
[13] Yusuf Wibisono, Metode Statistik ( Yogyakarta, UGM PRESS,2005)436
[14] Soenoe Rahardjo, DiktatMetodelogi Penelitian Lanjutan,(Medan, STTBM, 2010)58
[15] Suharsimi Arikunto,Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,(Jakarta, Rineka
Cipta) 259
[16] Soenoe Rahardjo, Diktat Metodelogi Penelitian Lanjutan ,( Medan, STTBM,2010) 95
[21] Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Halai Pustaka 2002 ),105
[22]Depertemen Agama RI, UUPerkawinan Dengan Peraturan Pelaksanaannya, ( Jakarta : PT.Pradya Paramita,1982 ),6
[21] Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Halai Pustaka 2002 ),105
[22]Depertemen Agama RI, UUPerkawinan Dengan Peraturan Pelaksanaannya, ( Jakarta : PT.Pradya Paramita,1982 ),6
[23] K.
Wijaya Mukti, Berebut
Kerja Berebut Surga, ( Jakarta : yayasan Dharma Pembagunan 2003 ),
hal. 105
[24] Ibid
[25] Wanda Humble, Persiapan Pernikahan Keluarga
Menuju Rumah Tangga Yang Bahagia, (Yogyakarta : STII 1997), hal. 2
[26]
Tutus, Tu'u S.Th, Etika dan
pendidikan Seksual, (Bandung: Kalam Hidup 1996),hal. 28
[27] I.Nyoman Arthayasa, Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu, (Surabaya : Paramitha, 2004
) ,hal. 3
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Team Pembinaan Persiapan Keluarga,Membagun Keluarga Kristen, (Yogyakarta,
Kamsius,1986), hal. 9
[31] Cornelis Wowon, Pandangan Sosial Agama Budha, (Jakarta : CV.Nitra Kencana Buana,2004), hal.
104
[32] A.W.Turnip,
Adat dan Upacara Perkawinan Daerah
Sumatera Utara, ( Medan : Proyek penelitian
dan pencatatan Kebudayaan Daerah 1978 ), hal. 27
[33] Wanda Humble, Opcit, hal. 6
[34] R. Suhartini C, Cara Mendidi Anak Da/am Keluarga
Masa Kini, (Jakarta: Brata Karya Aksara 1986), hal. 19
[35]Jhonathan A.
Trisna, Pernikahan Kristen Suatu Usaha
Dalam Kristus, (Bandung : Kalam Hidup 1994), hal. 50
[36] Jakub Nahuway, Isteri Yang Cakap Melebihi Permata, (Yogyakarta: Yayasan Andi,
1990), hal. 30
[37]Ibid, hal. 34
[38]Volkhard dan
Scheunemann Gerlinde, Hidup sebelum
dan sesudah Menikah, (Malang: Yayasan PII 1985) hal. 15
[39]Naek L. Tobing, Cintakah Anda Sesudah Menikah, (Gramedia,
1998), hal. 72
[41]R. Suhartini C, Op. cit, hal. 37
[42] R.
Suhartini C, ibid
[43] Dorothy L. Marx, Itukan Boleh, (Bandung : Kalam Hidup,
1998), hal. 49
[44] Sasangko Sudarjo, Keluarga
Masa Kini, (Jakarta:Brata Karya Aksara,1986), hal. 57
[45]Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Opcit, hal. 753
[46]Joyce Coon, Rencana Allah Bagi Rumah Tangga Kristen, (Bandung:Yayasan
Kalam Hidup,1978), hal. 12
[48]J.L. Ch. Abineno, Tafsiran Kitab Efesus, ( Jakarta:
BPK-GM, 1992), hal. 53
[49]D. Scheumenn, Romantika Kehidupan Suami Isteri. (Malang : Gandum Mas, 2005
) hal.16
[50]Gangga
Elthon,INTIMACY, (Bandung Yayasan
Galilea,2001), hal. 26
[52] D. Guthrie, MTh, dick, Tafsiran Alkitab Masa Kini, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina kasih 2007), hal.
603
[53]Gangga Eltho, opcit, hal. 27
[54]J.L.Ch. Abineno, Op.cit, Ital. 58
[56]Ganggaw Eltho Opcit, hal. 14
[57]J L.Ch. Abineno, Op.cit, hal. 30
[60] Dick Mills, Cara Meraih Pernikahan bahagia, (Jakarta: Immanuel,1993), hal. 8
[61] Tim Lahaye, Op.Cit, hal. 131
[62]Pdt Dr. P. Octavianus, Membangun Rumah
Tangga Bahagia, ( Malang
Gandum Masa, 1986), hal. 31
[63]K.A.M.Jusuf Roni, Memmbina Keluarga Kristen Bahagia, ( Yogyakarta
: Yayasan Andi, 1996 ), hal. 81
[64]Warren W. Wiersbe,
Kaya Didalam Kristus, (Bandung:
Kalam Hidup,2001), hal. 130
[65]Ibid, hal. 132
[66]Tim LaHaye, Kebahagiaan Pernikahan Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia
2002), hal.117
[67]Ibid
[68]Pdt. P. Octavianus, Opcit, hal. 69
[69]Tim LaHaye, Opcit, hal. 114
[70]Dick Mills, Cara
Meraih Pemikahan Bahagia, (Jakarta : Yayasan Pekabaran Injil, 1993), hal 3
[71] Hendra Rey, Manusia dan Penciptaan sampai Kekekalan, (Malang: Gandum Mas,
2002), hal 15
[72]R. Paul Stevens, Seni Mempertahankan Pernikahan Bahagia, (Jakarta: Gloria
Graffa,2004), hal. 78
[73]Pdt. P.
Octavianus, Membangun Rumah Tangga
Bahagia, (Malang: gandum Mas,1986), ha134
[74]Octavianus, ibid, hal 66